JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menggelar public hearing mengenai usulan perubahan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 tahun 2021 tentang Sistem PLTS Atap yang Terhubung Dengan Jaringan Pemegang IUPTLU, Jumat (6/1/2022). Dalam kesempatan tersebut, Hendra Iswahyudi, Plh Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM, menyampaikan substansi usulan perubahan, diantaranya adalah ditiadakannya batasan kapasitas per pelanggan selama masih memiliki kuota (semula 100%), ditiadakannya biaya kapasitas untuk golongan industri, penghapusan ekspor listrik, serta aturan dimana pelanggan eksisiting harus mengikuti peraturan baru setelah tercapainya payback period (paling lama 10 tahun).
Komunitas Startup Teknologi Energi Bersih (KSTEB) menilai usulan perubahan kebijakan tersebut akan menurunkan minat masyarakat untuk memasang PLTS atap, terutama untuk pasar pelanggan residensial. Peniadaan skema ekspor listrik akan menurunkan nilai keekonomian PLTS atap dengan jumlah penghematan tagihan listrik menjadi lebih kecil dan masa pengembalian modal (payback period) menjadi lebih panjang.
Survei pasar yang dilakukan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) di 7 provinsi menunjukkan bahwa mayoritas pelanggan PLTS atap mengharapkan penghematan hingga 50% melalui penggunaan PLTS atap. Hal ini menandakan bahwa aspek ekonomi menjadi salah satu faktor penentu minat masyarakat untuk memasang PLTS atap skala residensial.
Amarangga Lubis, Anggota KSTEB dan founder dari Solar Kita, mengatakan bahwa peniadaan skema ekspor impor akan mengurangi minat calon pelanggan PLTS atap.
“Concern utama dari usulan perubahan ini adalah hilangnya kWh meter ekspor-impor akan merubah minat customer dan berdampak pada total market yang tersedia,” katanya, Senin (9/1).
Senada, Erlangga Bayu Rahmanda, Anggota KSTEB sekaligus founder dari BTI Energy, merasa bahwa usulan perubahan Permen ESDM akan mematikan bisnis perusahaan rintisan (startup) PLTS atap secara langsung.
“Adanya perubahan pada permen ESDM tentang PLTS atap akan membunuh startup PLTS atap, terutama seperti BTI Energy yang mayoritas pelanggannya adalah pelanggan residensial,” ujarnya.
Dalam jangka waktu yang lebih panjang, kondisi ini juga akan berimplikasi negatif pada ekosistem startup PLTS atap di Indonesia dimana kebijakan energi yang tidak suportif akan menurunkan minat calon pengusaha untuk merintis usaha di sektor ini.
KSTEB juga menyayangkan usulan perubahan kebijakan ini karena akan menyebabkan semakin sulitnya pemerintah mencapai target kapasitas PLTS atap di Indonesia sebesar 3.610 MW pada 2025. Sebagai catatatan, per November 2022 kemarin kapasitas terpasang PLTS atap di Indonesia hanya mencapai 77,6 MW atau jauh dari target pemerintah.
Terkait tidak adanya pembatasan kapasitas PLTS atap maksimum 100 % daya terpasang melainkan berdasar kuota sistem, KSTEB juga mempertanyakaan transparansi data kuota per sistem yang hanya dapat diakses oleh PLN.
Erlangga menekankan meterbukaan data sangat penting untuk menghindari adanya upaya penghambatan instalasi PLTS atap yang mengatasnamakan kuota sistem yang sudah penuh.
Dalam keterangannya, Amarangga khawatir akan terjadi penyelewangan sistem apabila data kuota sistem tidak terbuka ke publik. Selain itu, dia juga berpendapat bahwa definisi teknis kuota sistem perlu diperjelas.
“Saya khawatir kuota sistem akan disesuaikan dengan kebutuhan PLN sebagai utility company,” ujar Erlangga.
Kekhawatiran juga diungkapkan Erlangga. “Kapasitasnya sekarang dibatasi per kuota, itu juga berbahaya, karena yang menentukan kuota adalah pemegang IUPTLU. Bisa saja mereka menyatakan kuota full dan baru diperbaharui setiap 5 tahun, jadi selama 5 tahun itu tidak akan ada penambahan PLTS atap,” ungkapnya.
Komunitas Startup Teknologi Energi Bersih (KSTEB) adalah komunitas pertama di Indonesia yang menjadi platform jejaring perusahaan rintisan (startup) teknologi energi bersih. Komunitas ini diprakarsai oleh New Energy Nexus Indonesia dan didirikan pada tahun 2022. Diharapkan melalui KSTEB ini, para penggiat startup teknologi energi bersih dapat saling bertukar ide, informasi, dan jejaring untuk mendukung pertumbuhan ekosistem startup teknologi energi bersih di Indonesia.
Saat ini, KSTEB beranggotakan 50 startup teknologi energi bersih yang terdiri dari startup yang bergerak di sektor ketenagalistrikan, transportasi, industri, dan bangunan. Startup yang tergabung dalam KSTEB merupakan startup yang memiliki peran penting dalam usaha Indonesia untuk melakukan transisi energi dan memitigasi perubahan iklim.(RA)
Pada Permen 26/2021, jika ada listrik PLTS Atap yang di-ekspor ke jaringan PLN, sifatnya tidak dibeli oleh PLN. Jadi sama saja PLN mendapatkan listrik gratis. Jika ada listrik gratis disebuah kawasan luas misalnya semua rumah dan gedung di Jakarta pakai PLTS pada siang hari, maka PLN dapat men-standby-kan beberapa PLTU-nya sehingga mengurangi penggunaan batubara yang mahal. Kalau ada yang gratis kenapa mesti mempertahankan yang mahal, apalagi status PLN adalah BUMN penerima subsidi ?