JAKARTA – Penetapan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) atas Perubahan Keempat Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) dinilai tergesa-gesa.
Budi Santoso, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Resources Studies (CIRUSS), menyarankan agar pemerintah sebaiknya melihat perubahan Peraturan Pemerintah (PP) tidak sesederhana seperti poin-poin yang tercantum dalam RPP tersebut.
“RPP sepertinya hanya untuk memenuhi kepentingan salah satu pihak saja. Lima tahun, tembaga masih berlaku untuk ekspor, divestasi masih menunjukkan pemerintah lemah. Alasan lima tahun sebaiknya diuraikan kajiannya,” kata Budi kepada Dunia Energi, Jumat(6/1).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diketahui telah menyampaikan RPP atas perubahan keempat Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan minerba ke Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Dalam RPP tersebut pemegang kontrak karya (KK) masih diberikan kesempatan untuk melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) hasil pengolahan dalam jumlah dan jangka waktu tertentu dengan ketentuan mengubah statusnya menjadi IUPK operasi produksi.
Disisi lain, aturan itu juga menyebutkan penjualan hasil pengolahan ke luar negeri dalam jumlah dan jangka waktu tertentu tidak berlaku bagi enam komoditas tambang mineral logam. Keenam komoditas tersebut adalah nikel, bauksit, timah, emas, perak dan kronium.
Budi menambahkan aturan tersebut akan berpotensi membuat pelaku usaha tambang mencari-cari celah untuk mendapatkan menguntungkan semata. Selain itu, penerapan bea keluar (BK) ekspor yang akan dipakai untuk membangun smelter bagi BUMN juga terkesah aneh.
“Jangan sampai cuma indah atau PHP (pemberi harapan palsu). Sebaiknya pemerintah melihat fundamental permasalahan kenapa hilirisasi tidak berjalan dan bagaimana affirmative action yang komprehensif bukan hanya tambal sulam,” kata Budi.
Tedy Badrujaman, Direktur Utama PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), mengatakan smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian) mineral memang pada awalnya kurang mendatangkan keuntungan. Untuk Antam kondisi tersebut bisa diatasi dari bisnis lainnya.
“Yang paling kita pikirkan, semua lapisan bahan tambang bisa ada utilisasinya untuk ke hilir. Kami menjual nikel ore sejak lama, ke Jepang utamanya. Dari situ kami bisa bangun pabrik feronikel (Feni) pertama. Kami proses nikel lapisan bawah, yang kadarnya tinggi, nikel kadar tinggi ada nilai ekonomis nya,” tandas Tedy.(RA)
Komentar Terbaru