JAKARTA – Presiden Joko Widodo baru saja bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Kishida Fumio di Istana Bogor pada Kamis (29/4). Beberapa pembahasan kerja sama dibicarakan keduanya selama pertemuan bilateral tersebut. Presiden-pun membeberkan berbagai pembicaraan dengan Kishida terkait beberapa kerja sama yang saat ini sedang terjalin dan akan dijajaki dengan negeri Sakura.
“Dalam pertemuan bilateral, pemerintah Indonesia dan Jepang sepakat untuk terus meningkatkan kerja sama di berbagai bidang. Di bidang perdagangan, misalnya, secara khusus saya menyampaikan permintaan pembukaan akses yang luas bagi produk pertanian dan perikanan Indonesia ke pasar Jepang,” kata Jokowi dalam unggahan di akun Facebook-nya (30/4).
Selain itu presiden mengapresiasi ekspansi perusahaan otomotif Jepang seperti Toyota dan Mitsubishi yang akan menjadikan Indonesia sebagai hub otomotif untuk kawasan. “Saya juga berharap adanya tambahan investasi baru Jepang di bidang lainnya, serta menjadikan Indonesia sebagai bagian penting dari rantai pasok global industri asal Jepang,” ujarnya.
Sisanya presiden menyinggung beberapa sektor lain yang dibicarakan seperti infrastruktur serta sektor kelautan dan perikanan.
Sayangnya dalam unggahan presiden di media sosial tersebut diketahui pembicaraan antara presiden dan perdana menteri Jepang tidak menyinggung kerja sama di sektor hulu migas. Padahal ada satu perusahaan Jepang yang tengah menggarap salah satu cadangan gas terbesar di Indonesia saat ini yakni blok Masela dengan perkiraan cadangan mencapai 10,7 Triliun Cubic Feet (TCF). Inpex Corporation, perusahaan asal Jepang hingga kini belum menunjukkan perfoma maksimal dalam mengelola blok Masela padahal Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) masih mematok target onstream blok Masela pada kuartal II tahun 2027.
Investasi di blok Masela bukanlah investasi sedikit. Nilainya diestimasikan bisa mencapai US$19,8 miliar dengan kapasitas fasilitas LNG mencapai 9,5 Metrik Ton Per Annum (MTPA) atau setara 1.600 juta kaki kubik per hari (MMscfd) serta gas pipa mencapai 150 MMscfd. Selain itu blok Masela juga diproyeksi hasilkan kondensat 35 ribu barel per hari.
Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas dalam paparan kinerja hulu migas hingga kuartal I 2022 mengungkapkan sejauh ini progres pengembangan blok Masela masih seputar perizinan serta persiapan Front End Engineering Design (FEED).
“Persiapan FEED, pertama metocean itu sudah 98,24%,” kata Dwi belum lama ini di Jakarta.
Selanjutnya juga masih diurus unutk Analisis Dampak dan Lingkungan (Amdal) 79,03% (persetujuan Amdal didapat kecuali ICF). Serta progres pembebasan lahan non hutan yang sudah mencapai 85%.
Belakangan pengembangan blok Masela kembali harus menunggu revisi Plan of Development (PoD). Ada satu detail terkait pengelolaan limbah atau CO2 dari kegiatan produksi gas di blok Masela.
Dalam rencana pengembangan terbarunya Inpex serta Shell sebagai para pemegang Participating Interest (PI) ternyata akan juga akan menyertakan fasilitas Carbon Capture, Utilizaton and Storage (CCUS) Sebagai Solusi Pengurangan Emisi dari kegiatan produksi gas Masela.
Fatar Yani Abdurrahman, Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus SKK Migas, pernah mengungkapkan CCUS juga jadi salah satu syarat jika Shell mau hengkang dari proyek Masela. Tren energi bersih membuat CCUS jadi fasilitas yang wajib disediakan jika blok Masela mau dikembangkan.
“Shell baru bisa jual (PI) kalau PoD direvisi dengan memasukan CCUS. Itu lagi kita kaji. Kalau ngga jualannya susah nanti dianggap produk (gas) ngga hijau,” kata Fatar Yani kepada Dunia Energi belum lama ini.
Inpex sebagai operator blok Masela, kata Fatar Yani memang sempat menyerahkan jumlah biaya yang diperlukan untuk membangun CCUS tapi menurut dia masih perlu direvisi serta harus juga disertai komitmen berupa perjanjian atau semacam Momerandum of Understanding (MoU) seperti yang dilakukan oleh BP baru-baru ini yang juga telah menyepakati akan membangun fasilitas CCUS di lapangan Tangguh.
Menurut Fatar Yani, MoU tersebut penting agar kajian yang dilakukan oleh operator benar-benar dilakukan. Di sisi lain kajian juga perlu dilakukan karena implementasi CCUS di tanah air baru pertama kali diterapkan.
“Inpex perlu bikin MoU karena kenapa ini kan masih baru masih dikaji nanti salah malah menghambat,” ujar Fatar Yani.
Sejak tahun 2020 Shell sudah mengutarakan langkahnya untuk meninggalkan Inpex dalam proyek Masela. Tapi hingga kini belum jelas kemana PI-nya akan dijual. Menurut Fatar Yani pihak Shell juga saat ini juga mendukung pembangunan fasilitas CCUS di Masela. karena itu jadi jalan keluar bagi perusahaan asal Belanda itu bisa segera melapas PI-nya.
“CCUS itu shell butuh kalau ngga dikerjain dia ga keluar-keluar (dari Masela) jadi harus dikerjain supaya Shell bisa keluar makin nggak kerjain nggak keluar dia. Dia ngga mau tahan-tahan,” tegas Fatar Yani.
Mungkin besarnya cadangan di Masela itu jauh di bawah dari asumsi sebelumnya, sehingga hampir tidak ekonomis utk diproduksi