JAKARTA– PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi, memiliki komitmen untuk mengembangkan sekitar 11 proyek pada tujuh wilayah kerja (WK) panas bumi hingga memiliki kapasitas pembangkitan 907 megawatt (MW) pada 2019 atau bertambah 470 MW dari saat ini sebesar 437 MW dengan total investasi US$ 2,5 miliar. Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina, mengatakan dengan kapasitas pembangkit panas bumi sebesar 3,15 GW sama dengan 137.200 barel setara minyak per hari atau 7,96 juta KL setara minyak per tahun.
“Pengembangan panas bumi tersebut sejalan dengan amanat Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, di mana energi baru dan terbarukan akan memegang porsi sebesar 23% terhadap total bauran energi nasional,” ujar Wianda, Selasa.
Saat ini terdapat 16 wilayah kerja panas bumi di Indonesia yang siap untuk dikembangkan hingga 2019 dengan total penambahan kapasitas menjadi 3,15 gigawatt (GW). Bertambah sekitar 1,75 GW dibandingkan dengan kapasitas saat ini sebesar 1,4 GW.
Menurut Wianda, optimalisasi pemanfaatan panas bumi juga sesuai dengan COP 21 UN Climate Change Conference, yang mengamanatkan pengurangan emisi sebesar 29%. Indonesia saat ini tercatat mengeluarkan emisi sebesar 1,2 miliar ton setiap tahun.
“Panas bumi sebagai energi yang ramah lingkungan dapat mengurangi emisi ~5 juta ton per 500 megawatt pembangkitan. Apabila pemerintah sukses mengembangkan panas bumi hingga 3,15 GW pada 2019, artinya telah terjadi pengurangan emisi sekitar 30 juta ton per tahun dan meningkat menjadi sekitar 70 juta ton atau 20% dari target pengurangan emisi,” katanya.
Menurut Wianda, pengembangan panas bumi diperlukan investasi yang berkelanjutan, salah satunya dapat dicapai apabila investor/produsen/pengembang mendapatkan harga yang wajar dan layak untuk kelanjutan investasi panas bumi di masa mendatang. Dia menganalogikan, jalan tol kendati sudah lama beroperasi pemerintah tetap mengizinkan kenaikan tarif tol secara periodik karena hal tersebut diperlukan untuk growth atau penambahan investasi-investasi baru, menambah panjang ruas tol baru.
“Tidak diperolehnya harga yang wajar untuk panas bumi berpotensi menimbulkan beberapa kendala; seperti rendahnya minat investor baru untuk mengembangkan energi panas bumi, dan turunnya minat investor lama untuk memperbesar peranannya dalam peningkatan kapasitas pembangkit panas bumi,” katanya.
Abadi Purnomo, anggota Dewan Energi Nasional, mengatakan pengembangan panas bumi saat ini mencakup kegiatan hulu-hilir. Hal ini untuk keseimbangan risiko pengembangan. Risiko disisi hulu sangat tinggi sementara risiko hilir sangat rendah, selain menghindari terjadinya ketidak selarasan manajemen operasional, praktek ini berlaku diseluruh dunia.
“Ini suatu rangkaian kegiatan yang sebenarnya tidak bisa dipisahkan dan sangat efektif karena bisa mereduksi biaya operasional dan mengelola reservoir dengan baik,” katanya.
Harga Listrik
Abadi mengatakan setidaknya ada beberapa persoalan mendasar yang menghambat pengembangan panas bumi. Selain tingkat risiko yang tinggi, masalah tarif listrik panas bumi masih jadi persoalan. Hal ini tampak dari keengganan PT PLN (Persero) merevisi harga beli uap dan tarif listrik dari Pertamina Geothermal, dari lapangan panas bumi di Kamojang, Bandung Jawa Barat dan Lahendong, Sulawesi Utara. Padahal, PLN dan PGE sudah meneken interim agreement yang akan berakhir pada 31 Desember 2015.
Dalam interim agreement, PLN dan PGE saling mengusulkan revisi harga jual uap dan tarif listirk dari empat pembangkit panas bumi di Kamojang, Bangung, Jawa Barat dan empat pembangkit di Lahendong, Sulawesi Utara. PLN membeli uap dan listrik dari PGE dengan sangat murah, yaitu di bawah US$ 3 sen perkilowatthour padahal energi panas bumi sangat ramah lingkungan. Di sisi lain, PGE tak mau pada harga tersebut karena perseroan harus melakukan perawatan dan juga eksplorasi sumur-sumur baru panas bumi. Belakangan PLN malah tak bersedia melanjutkan interim agreement.
Abadi juga meminta pemerintah segera memfasilitasi pertemuan khusus yang membahas soal perjanjian jual beli uap dan listrik dari panas bumi dari PGE ke PLN. Sikap PLN yang tidak mau melanjutkan pembahasan interim agreement sangat disesalkan. Sikap PLN itu cenderung menghambat pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Tanah Air.
“Di sinilah kehadiran pemerintah diperlukan, menjadi fasilitator. Menteri Badan Usaha Milik Negara, Menteri BUMN, dan Menteri Keuangan. Kalau dipaksakan B to B (business to business), semua EBT tidak akan jalan,” ujar Abadi.
Kurtubi, anggota Komisi Energi DPR, mengatakan pemerintah telah menetapkan kebijakan terkait harga listrik untuk panas bumi. Penetapan harga ini mempertimbangkan aspek ekonomis baik bagi pengembang maupun PLN sebagai pembeli listrik dan uap dari pembangkit panas bumi. “Namun kondisi saat ini ketika harga minya dunia turun dan sumber energi lain pun murah tentu menjadi tantangan bagi pengembangan panas bumi. Tetapi harus dilihat jangka panjang karena energi ini masuk dalam kelompok energi terbarukan. Selain itu juga energi ini ramah lingkungan,” katanya.
Terkait dengan masalah yang dihadapi saat ini antara PGE dan PLN, pemerintah harus membantu memfasilitasi penyelesaian masalah. Menteri ESDM dan Menteri BUMN harus ikut membantu agar kedua perusahaan yang merupakan BUMN ini bisa menemukan penyelesaiannya. “Pemerintah silakan membantu mencari jalan tengah agar kepentingan PGE sebagai pengembang dan kepentingan PLN juga terakomdasi,” katanya.
Komisi Energi DPR, menurut Kurtubi, akan menanyakan masalah ini baik ke Pertamina maupun ke PLN. Juga kepada Menteri BUMN dan Menteri ESDM “Tetapi satu yang saya harapkan, segera dicarikan solusinya supaya pengembangan energi panas bumi bisa terus berlangsung karena Indonesia punya potensi besar. Indonesia punya potensi panas bumi yang luar biasa cuma belum dimanfaatkan secara optimal salah satunya karena masalah harga ini,” katanya. (DR)
Komentar Terbaru