JAKARTA- Pertamina New Renewable Energy (Pertamina NRE), berencana membangun pembangkit listrik yang memanfaatkan gas suar atau flare gas di empat kilang di Indonesia. Fadli Rahman, Direktur Perencanaan Strategis & Pengembangan Bisnis Pertamina NRE, mengatakan bahwa kilang Balongan, Cilacap, Plaju, dan Dumai menjadi lokasi utama karena tingginya volume flare gas di wilayah tersebut.

“Ada 3-4 lokasi yang paling banyak flare-nya, yaitu Balongan, Cilacap, Plaju, dan Dumai,” kata Fadli dalam sebuah kesempatan di Jakarta, baru-baru ini.

Proyek ini diharapkan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran flare gas. Selain itu, proyek ini juga bertujuan untuk memanfaatkan gas sisa yang biasanya hanya dibakar menjadi sumber energi listrik yang lebih ramah lingkungan.

Investasi untuk proyek pembangkit listrik flare gas ini diperkirakan US$60 juta-US100 juta. Dengan dana sebesar itu, proyek ini ditargetkan mampu menghasilkan listrik dengan kapasitas antara 10 Megawatt hingga 20 Megawatt.

Menurut Fadli, teknologi yang akan digunakan dalam proyek ini berasal dari Jepang atau Jerman, dua negara yang dikenal memiliki teknologi pengolahan gas yang maju. “Teknologinya berasal dari Jepang atau Jerman nantinya,” ungkap Fadli. Pembangunan proyek pertama dijadwalkan dimulai di kilang Balongan pada 2025, setelah proses groundbreaking dilakukan tahun ini. Proyek serupa kemudian akan dilanjutkan di kilang Cilacap, Plaju, dan Dumai.

 

Fadli Rahman, Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis PNRE.

Flare gas, yang dikenal juga sebagai gas suar bakar, merupakan gas sisa dari proses eksplorasi dan produksi minyak serta gas bumi. Gas ini sering kali dianggap sebagai limbah berbahaya karena mengandung zat beracun seperti hidrogen sulfida (H2S) dan karbon monoksida (CO). Oleh karena itu, lanjut Fadli,  gas ini harus dibakar untuk menghindari dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan.

Flare gas juga mengandung metana, gas rumah kaca yang berkontribusi pada pemanasan global. Dengan memanfaatkan flare gas sebagai sumber energi listrik, emisi gas rumah kaca dapat dikurangi secara signifikan. “Proyek ini sejalan dengan upaya global untuk mengurangi dampak perubahan iklim,” katanya.

Menurut Fadli, proyek “flare gas to power” ini akan memiliki manfaat ganda. Selain mengurangi emisi gas berbahaya, proyek ini juga akan membantu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil untuk kebutuhan listrik di kilang-kilang Pertamina. “Kami melihat potensi flare gas atau gas suar yang dihasilkan dari produksi minyak bisa dimanfaatkan menjadi listrik. Jadi flare gas to power namanya,” kata Fadli.

Listrik yang dihasilkan dari flare gas ini akan digunakan untuk operasional internal kilang, sehingga mengurangi biaya energi yang sebelumnya ditutupi dengan bahan bakar konvensional. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi operasional dan keberlanjutan perusahaan.

Proyek ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap target emisi nol yang ingin dicapai Indonesia pada tahun 2030 hingga 2050. Indonesia berkomitmen untuk mendukung target UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan inisiatif World Bank Zero Routine Flaring by 2030. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan regulasi yang mendukung pemanfaatan flare gas, termasuk Peraturan Menteri ESDM Nomor 30 Tahun 2021. Aturan ini mempermudah proses monetisasi gas suar bakar dan diharapkan dapat menarik minat para pelaku industri. Langkah ini menjadi bagian dari strategi pemerintah untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan.

Kilang Balongan akan menjadi lokasi pertama proyek “flare gas to power” ini, dengan target operasi mulai tahun 2025. Proses groundbreaking untuk proyek ini akan dilakukan pada tahun ini, menandai dimulainya inisiatif besar dalam pemanfaatan energi terbarukan oleh Pertamina NRE. Kilang Balongan dipilih karena volume flare gas yang dihasilkan di sana cukup tinggi, membuatnya ideal sebagai lokasi proyek percontohan. Setelah Balongan, proyek serupa akan diterapkan di kilang Cilacap, Plaju, dan Dumai. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada potensi flare gas yang dihasilkan di masing-masing kilang. Proyek ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang Pertamina untuk meningkatkan keberlanjutan operasional di kilangnya.

Fadli menambahkan proyek ini akan menggunakan teknologi mutakhir yang mampu menangkap gas flare dan mengubahnya menjadi energi listrik dengan efisiensi tinggi. Penggunaan teknologi ini akan memastikan bahwa emisi gas yang dihasilkan dari proses pembakaran dapat diminimalisir. Selain itu, teknologi ini juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas udara di sekitar kilang. “Dengan menggunakan teknologi yang canggih, kami dapat menangkap lebih banyak gas flare dan mengubahnya menjadi listrik yang bermanfaat,” jelas Fadli.

Peningkatan kualitas udara akan memberikan manfaat kesehatan bagi masyarakat sekitar kilang. Hal ini sejalan dengan upaya perusahaan untuk meningkatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Dia optimistis proyek “flare gas to power” ini akan memberikan dampak positif yang signifikan tidak hanya bagi perusahaan, tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungan. Penggunaan flare gas sebagai sumber energi listrik merupakan langkah strategis dalam mendukung transisi energi di Indonesia. Dengan adanya proyek ini, Pertamina diharapkan dapat berkontribusi dalam pencapaian target energi bersih nasional. “Proyek ini juga dapat meningkatkan daya saing Pertamina di tingkat global dalam hal inovasi energi terbarukan. Pertamina berkomitmen untuk terus mencari solusi energi yang lebih bersih dan berkelanjutan di masa depan,” ujarnya. (DR)