JAKARTA – PT Pertamina (Persero) membukukan laba bersih mencapai US$2,53 miliar sepanjang 2018. Selain karena ada dana kompensasi atas biaya penyaluran BBM khusus penugasan atau premium, kinerja Pertamina juga ditopang sektor hulu migas yang tentu saja berasal dari kinerja anak perusahaan sektor hulu. Hampir seluruh anak usaha sektor hulu menunjukkan kinerja keuangan yang moncer, namun ada satu anak usaha yang justru menelan kerugian besar, yakni PT Pertamina Internasional EP.
Berdasarkan data yang disajikan dalam laporan tahunan Pertamina 2018, nak usaha Pertamina yang mengelola blok migas di luar negeri itu menderita kerugian sebesar US$20,24 juta. Realisasi tersebut jelas jauh dari realisasi kinerja keuangan pada 2017 yang sukses mencetak laba bersih mencapai US$142,73 juta.
Kondisi PIEP berbanding terbalik dengan anak usaha Pertamina lainnya. Sebut saja PT Pertamina EP yang sukses mencetak laba bersih sepanjang 2018 sebesar US$756,04 juta, naik dibanding 2017 sebesar US$ 614,78 juta.
Laba bersih juga sukses dicetak PT Pertamina Hulu Energi (PHE) sebesar US$476,72 juta , melonjak dibanding 2017 sebesar US$250,88 juta, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) meraih laba bersih US$107,31, naik dibanding realisasi 2017 sebesar US$95,73 juta. Bahkan PT Pertamina Hulu Indonesia, induk usaha PT Pertamina Hulu Mahakam, pengelola Blok Mahakam, juga sukses mencetak laba bersih US$779,86 juta.
Fajriyah Usman, Vice President Corporate Communication Pertamina, mengatakan pencapaian kinerja keuangan Pertamina Internasional tidak serta merta mencerminkan kinerja operasional sepanjang tahun lalu. “Pada 2018, PIEP mencatatkan laba operasi yang positif karena sebagian besar kinerja operasional meningkat dibanding 2017, seperti dari sisi pemboran, pengembangan, investasi maupun produksi migas,” kata Fajriyah kepada Dunia Energi, Jumat (28/6).
Fajriyah mengatakan untuk realisasi laba bersih yang negatif lebih karena proses pencatatan akuntansi, yakni pencatatan penurunan nilai aset migas pada portofolio PIEP. Penurunan nilai aset migas dipengaruhi fluktuasi harga minyak dunia, sehingga mempengaruhi aset yang dianggap turun nilainya. “Tapi secara operasional apabila hal tersebut di take out, maka hasilnya laba bersih positif,” tukasnya.
Berdasarkan data perusahaan untuk kinerka operasional tahun 2018, rata-rata produksi minyak mencapai 112 ribu barel per hari (bph)/ Sementara produksi gas sebesar 300 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Kemudian untuk pendapatan tercatat sebesar US$ 1,4 miliar.(RI)
Komentar Terbaru