JAKARTA- Presiden Joko Widodo, Selasa (27/12) meresmikan tiga proyek infrastruktur pembangkit listrik tenaga panas bumi senilai US$ 532, 07 juta atau sekiar Rp 6,128 triliun yang dikelola PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi. Proyek-proyek tersebut meliputi PLTP Lahendong unit 5 dan 6 berkapasitas 2 x 20 MW di Tompaso, Sulawesi Utara dengan invesasi US $282,07 juta atau setara dengan Rp3,3 triliun dan PLTP Unit 3 berkapasitas 1X55 MW di Ulu Belu, Kabupaten Tanggumas, Lampung.
Pertamina cukup cepat mengerjakan proyek PLTP Lahendong. Dikerjakan sejak 5 Juli 2015 dengan target penyelesaian masing-masing Desember 2016 dan Juni 2017, realisasinya menjadi 15 September 2016 atau lebih cepat tiga bulan untuk unit 5 dan 9 Desember atau lebih cepat enam bulan untuk unit 6.
Dwi Soetjipto, Direktur Utama PT Pertamina, mengatakan PLTP Lahendong Unit 5 dan 6 yang menggunakan skema total project (hingga menghasilkan listrik) telah menambah kapasitas pembangkit di Area Lahendong menjadi 120 MW dan memperkuat sistem ketenagalistrikan di Minahasa Sulawesi Utara, dengan tidak kurang 240 ribu rumah tangga teraliri listrik. Selama pelaksanaan proyek menyerap tenaga kerja lokal tidak kurang dari 1.800 orang, dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) mencapai 42,68 persen.
Adapun PLTP Ulubelu Unit 3 menggunakan skema total project, mulai dikerjakan pada 5 Juli 2015 dengan target selesai Agustus 2016. Namun, PGE berhasil masuk ke dalam sistem pada 26 Juli 2016 atau lebih cepat satu bulan. Proyek ini menyerap tenaga kerja sekitar 3.000 orang, dengan TKDN mencapai 50,89 persen.
“Kami mengapresiasi kepada seluruh pekerja PGE yang berhasil membuktikan kompetensi utamanya dengan menyelesaikan proyek lebih cepat dari jadwal sehingga lebih cepat dapat membantu pemerintah dalam upaya memperluas layanan listrik untuk masyarakat,” ujar Dwi dalam siaran pers, Selasa (27/6).
Menurut Dwi, proyek infrastruktur energi yang dibangun Pertamina diharapkan dapat memberikan efek berganda terhadap kehidupan ekonomi masyarakat, mulai dari teralirinya listrik, terbukanya lapangan kerja selama pelaksanaan proyek dan juga pascaproyek sebagai dampak dari tumbuhnya industri baru karena pasokan listrik yang lebih kuat serta mendorong pemanfaatan energi bersih yang mampu mendorong penurunan emisi CO2.
“Sebagai BUMN energi, Pertamina sangat bangga dapat memberikan kontribusi terbaiknya untuk negara melalui penyediaan infrastruktur energi dengan terus mengembangkan renewable energy di seluruh Tanah Air,” katanya
Melalui PGE, Pertamina menargetkan penambahan kapasitas pembangkitan panas bumi sebesar 1.037 MW pada 2021. Selain ketiga proyek yang diresmikan hari ini, Pertamina juga memaparkan progres proyek-proyek PLTP lainnya yang di ground breaking oleh Presiden pada 5 Juli 2015, antara lain Karaha Unit 1 dengan kapasitas 1×55 MW yang saat ini sudah mencapai 91 persen, atau akan selesai pada Mei 2017. Kemudian Lumut Balai Unit 1 & 2 berkapasitas 2×55 MW dengan progress proyek mencapai 71 persen. Sementara proyek Hululais 1 berkapasitas 1×55 MW dan Kerinci Unit 1 kapasitas 1×55 MW dimana masing-masing proyek telah berjalan 67 dan 43 persen.
Sementara itu, Pendiri dan pemilik Grup Barito Pacific, Prajogo Pangestu, sebentar lagi berhak menyandang gelar taipan listrik panas bumi level dunia. Konsorsium yang diusung salah satu perusahaan yang dimiliki Prajogo, PT Star Energy, memenangi tender penjualan PLTP di Indonesia dan Filipina milik Chevron Corporation. Star Energy menyingkirkan Medco Power, Mitsui dan Marubeni. Pertamina dan PT PLN (Persero) yang sebelumnya disebut-sebut bakal mengikuti tender, akhirnya mengundurkan diri.
Pada Kamis (22/12) pekan lalu, konsorsium Star Energy dan Chevron meneken share sale and purchase agreements (SPA) PLTP di Indonesia dan Filipina. Executive Vice President, Upstream, Chevron Corporation Jay Johnson menjelaskan anak-anak usahanya di dua negara tersebut telah meneken kontrak jual beli aset panas bumi dengan konsorsium yang beranggotakan Star Energy Group Holdings, Star Energy Geothermal, AC Energy (afiliasi Ayala Group Philippines) dan EGCO dari Thailand. Menurut kabar, nilai transaksi diperkirakan lebih dari US$ 2 miliar, yang ditanggung bersama sesuai porsi anggota konsorsium.
Adapun objek transaksi konsorsium dengan Chevron meliputi PLTP Salak berkapasitas 370 megawatt (MW), dan PLTP Derajat berkapasitas 240 MW dan 40% aset panas bumi Tiwi-MakBan Filipina berkapasitas 326 MW. Dengan demikian, total kapasitas PLTP yang dibeli Star Energy cs mencapai 740 MW.
Saat ini Star Energy mengoperasikan PLTP Wayang Windu I-III berkapasitas total 287 MW. Setelah menuntaskan transaksi dengan Chevron, total kapasitas listrik panas bumi yang dikelola Star Energy sekitar 793 MW. Dengan demikian, Star Energy masuk daftar pengelola PLTP terbesar di dunia, di bawah Calpine Corp yang memproduksi panas bumi berkapasitas 945 MW di Amerika Serikat.
Pertamina Andalan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral meminta Pertamina melalui PGE terus mengembangkan energi panas bumi, meskipun masih menemui banyak kendala, seperti lamanya proses negosiasi harga jual beli listrik. Kementerian ESDM saatg ini berupaya untuk bisa membenahi proses perjanjian jual beli listrik atau uap dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) ke pembeli utama, PT PLN (Persero) yang kerap kali harus melalui proses panjang negosiasi.
“Kami yakin seharusnya ini bisa dipercepat, saya segera bentuk tim untuk melakukan evaluasi proses negosiasi ini,” kata Menteri ESDM Ignasius Jonan, di Minahasa, belum lama ini.
Jonan meyakini percepatan negosiasi antara PGE dan PLN terkait jual beli listrik dan uap turut mempengaruhi kelancaran pengembangan panas bumi di tanah air. Selain tengah berupaya mempercepat proses negosiasi untuk bisa kembangkan panas bumi, pemerintah juga tidak akan menutup diri bagi investor swasta yang ingin ikut mengembangkan panas bumi di tanah air. Masuknya swasta akan bisa menghemat pengeluaran negara dan dananya bisa dialihkan untuk pembangunan di sektor krusial lainnya.
“Arahan Presiden Joko Widodo jelas, partisipasi masyarakat dan swasta nasional ataupun asing itu diharapkan. Jadi tidak bergantung pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Badan Usaha Miliki Negara (BUMN) saja,” kata Jonan.
Syamsu Alam, Direktur Hulu Pertamina, mengakui selama ini proses negosiasi harga memerlukan waktu cukup panjang, karena dilakukan antar dua perusahaan yang memiliki sudut pandang bisnis dan nilai keekonomian berbeda sehingga peran pemerintah memang diperlukan untuk bisa bersama-sama mencari jalan keluar terbaik.
“Ya memang disini kita memerlukan kehadiran pemerintah untuk bisa membantu dalam percepatan. Selama ini kan negosiasinya dalam bentuk business to business saja,” ujar dia.
Pengembangan panas bumi sebagai sumber energi adalah sebuah keniscayaan. Apalagi potensinya cukup besar, yaitu sekitar 29 ribu MW dengan total cadangan sekitar 14 ribu MW. Regulasi untuk memperkuat pengembangan panas bumi juga telah ada, yaitu UU No 21 Tahun 2014 yang menggantikan UU No 27 Tahun 2003. Berdasarkan UU tersebut pemerintah membuat berbagai macam terobosan diantaranya dengan mengingat bahwa kegiatan pengusahaan panas bumi lebih pada melakukan ekstraksi fluida sehingga tidak masuk dalam kategori pertambangan maka pemerintah melakukan pendefinisian ulang atas pengusahaan panas bumi yang sebelumnya menggunakan istilah Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi /IUP menjadi Izin Panas Bumi/IPB.
Selain itu, berdasarkan UU tersebut pengusahaan panas bumi saat ini dibolehkan untuk dilakukan di kawasan hutan konservasi. Dalam UU tersebut, Pemerintah juga melakukan perubahan dalam konsep pelelangan wilayah kerjanya. Kompetisi pelelangannya bukan lagi menggunakan paramater harga terendah tetapi lebih pada kompetisi program kerja dan komitmen eksplorasi. Dan yang paling menarik adalah saat ini Pemerintah diberikan kewenangan untuk memberikan penugasan eksplorasi dan eksploitasi kepada Badan Usaha Milik Negara, tanpa lelang.
Peran PLN, sebagai single offtaker energi panas bumi, sangat besar dalam pengembangan panas bumi di Indonesia. Apalagi PLN secara korporasi mempunyai kendali untuk mengatur portfolio pemanfaatan sumber energi primer di Indonesia termasuk untuk mengatur sumber energi primer mana (antara energi fosil, batubara, atau energi baru dan terbarukan) yang akan menjadi prioritas untuk dimanfaatkan.
Betul bahwa harga energi baru dan terbarukan masih lebih mahal dibandingkan dengan batubara. Tapi, jangan lupa UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan pasal 6 ayat (2) telah mengamanatkan bahwa pemanfaatan sumber energi primer harus dilaksanakan dengan mengutamakan sumber energi baru dan energi terbarukan. (DR)
Komentar Terbaru