JAKARTA – Pemerintah mulai tahun ini akan memberikan kompensasi terhadap penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) penugasan atau premium. Kompensasi berupa biaya penggantian berbagai komponen biaya yang timbul dalam produksi sampai pendistribusian premium.
Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Pertambangan Industri Strategis dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mengatakan meskipun diberikan kompensasi berupa penggantian, namun tidak akan seluruhnya biaya diganti pemerintah.
“Tidak full. Penggantian baru tahun ini (2019). Itu tidak hanya ongkos pengiriman, tapi biaya-biaya untuk pencampuran, pengiriman,” kata Fajar di Pekanbaru, baru-baru ini.
Fajar belum bisa memastikan berapa besar nanti penggantian akan diberikan ke Pertamina. Saat ini masih dalam perhitungan besaran kompensasi yang pas. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga dilibatkan dalam perhitungan tersebut.
Penggantian tersebut bukan subsidi dan sudah tertuang dalam peraturan Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018 tentang penyediaan pendistribusian dan harga jual eceran BBM.
Dalam pasal 14 ayat 10 yang berbunyi Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan oleh auditor yang berwenang dalam 1 (satu) tahun anggaran terdapat kelebihan dan/atau kekurangan penerimaan badan usaha penerima penugasan sebagai akibat dari penetapan harga jual eceran BBM, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara menetapkan kebijakan pengaturan kelebihan dan/atau kekurangan penerimaannya setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara.
“Aturan sudah ada, justru sudah ada di perubahan Perpres (revisi perpres),” kata Fajar.
Dengan adanya penggantian biaya, maka pemerintah berharap Pertamina tidak terlalu terbebani dengan tugasnya untuk mendistribusikan premium, meskipun harga minyak dunia nanti meningkat lagi dan tidak ada penyesuaian harga BBM.
Jika beban keuangan tidak terlalu besar maka Pertamina bisa fokus untuk berinvestasi terhadap berbagai proyek besar yang tengah digarap.
“Betul (bisa investasi lebih), tujuannya supaya bisa punya uang untuk Refinery Development Master Plan (RDMP), segala macam,” ungkap Fajar.
Pertamina selama ini beberapa kali sudah meminta berbagai kebijakan yang bisa membantu keuangannya Salah satunya adalah penggantian biaya untuk premium.
Menurut Fajar, penggantian biaya distribusi premium sangat bisa diimplementasikan karena tidak membebani keuangan negara. Saat harga minyak melonjak maka sebenarnya pendapatan negara juga naik. Maka kelebihan pendapatan itu bisa disisihkan untuk membantu Pertamina yang tidak menaikkan harga BBM.
“Negara kalau harga minyak naik kan dapat tambahan. Fair dong kalau itu dihitungkan ke Pertamina yang tidak boleh menaikkan harga BBM atau ke PLN yang tidak boleh naikin tarif listrik,” papar Fajar.
Sektor hilir dalam beberapa tahun terakhir memang menjadi biang kerok tergerusnya laba perusahaan. Terbaru adalah di 2018 dimana laba bersih Pertamina kembali merosot dari tahun 2017. Laba bersih Pertamina hanya sekitar US$ 2 miliar.
Fajar tidak menampik pengaruh harga BBM yang tidak dinaikkan terhadap keuangan Pertamina cukup besar. “Itu besar (pengaruhnya) harga BBM,” kata Fajar.
Realisasi pendapatan Pertamina pada tahun lalu tercatat tertinggi dalam tiga tahun terakhir yakni sebesar US$ 56 miliar. Sayang, peningkatan laba tersebut tidak diikuti dengan peningkatan laba bersih. Laba bersih tahun lalu merupakan yang terendah sejak 2016. Pada 2016, Pertamina meraih pendapatan US$39,81 miliar dan laba bersih US$ 3,15 miliar. Setahun kemudian, pendapatan naik menjadi US$46 miliar, namun laba bersih turun menjadi US$2,41 miliar.
“Revenue naik, berarti volume naik. Tapi jadi beban dia, kan tidak boleh menaikkan harga BBM. Kalau yang Pertamax Series, Pertamina Dex itu kan ikut (naik), tapi Premium, Pertalite kan enggak. Pertalite naik sedikit,” tandas Fajar.(RI)
Komentar Terbaru