SETIAP sore pada akhir pekan sebelum matahari terbenam jalanan kering berdebu di depan komplek Perumahan Pertamina Cilamaya, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat ada kepadatan tidak biasa. Sebuah lapak sederhana yang dikerumuni anak-anak Sekolah Dasar (SD) maupun Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bukan tawa canda tapi hening. Anak-anak terlihat serius pandangi buku-buku bacaannya.
Salah satu orang tua, Nunung Nurhasanah atau akrab disapa Teh Nung salah satu orang tua yang mendampingi anaknya membaca mengaku rutin mengajak anak-anaknya ke lapak buku di akhir pekan, jika tidak ada urusan keluarga atau mendesak lainnya. Menurut dia, kedua buah hatinya juga senang jika sudah diajak ke lapak buku.
Na’ila Indah Mulyana, berusia 7,5 tahun, anak pertama Teh Nung masih belajar membaca. Sejauh ini cerita rakyat, buku eksiklopedi menjadi favoritnya.
Diandra Kahfi Mulyana, anak kedua yang berumur 3 tahun, suka cerita bergambar dongeng rakyat, misalnya timun mas dan bawang merah bawang putih.
“Sudah hampir setahun ini, hampir setiap pekan ya mampir rame-rame sama anak- anak, sama sepupu dan anaknya juga,” cerita Teh Nung.
Sekitar lima anak muda menjadi pengawas lapak, ada yang mengambilkan buku sesuai permintaan, berdiskusi tentang isi buku yang dibaca anak-anak atau ada juga yang bertugas sebagai penarik perhatian atau mengajak anak lain untuk merapat ke lapak.
Rak sepatu portabel disusun rapih dan disulap menjadi rak buku sudah terisi berbagai macam buku-buku. Ragam jenis buku anak memang bisa ditemukan di lapak, mulai dari buku cerita, dongeng sampai ilmu pengetahuan.
Lapak Perpustakaan Buku didirikan pada tahun 2016. Dalih Fakhrizal sang pendiri menceritakan pada mulanya lapak buku yang dibuat bersama teman-temannya jauh lebih sederhana dari kondisi saat ini. Modal mereka hanya menenteng buku menggunakan tas dan langsung menjejerkannya serta hanya beralaskan banner partai politik atau iklan yang sudah tidak terpakai. Koleksi buku-buku juga masih sangat terbatas karena hanya mengandalkan koleksi pribadi.
Tidak banyak orang melirik lapak yang dibuat Dalih dan teman-temannya kala itu. Mereka bahkan dianggap tim penjual buku-buku bekas yang keberadaannya dianggap hanya menganggu ketertiban wilayah sekitar perumahan. “Ya kami stagnan saja di depan komplek perumahan Pertamina, malah dikira jualan buku,” kata Dalih saat ditemui belum lama ini di Desa Cilamaya.
Menurut pria 24 tahun yang berprofesi sebagai guru ini, minat baca masyarakat Cilamaya sangat rendah apalagi generasi mudanya. Dia merasakan betul bagaimana kehidupan anak muda Cilamaya dipenuhi berbagai kegiatan negatif mulai dari tawuran, minum minuman beralkohol bahkan mengonsumsi obat-obatan terlarang. Belum lagi dengan serbuan teknologi karena meskipun sedang berkumpul mereka hanya fokus pada gadget.
Sulit, satu kata yang memang hanya bisa menggambarkan awal inisiasi lapak buku. Apalagi ia menyadari bahwa untuk memulai ide perpustakaan jalanan butuh banyak bantuan, tidak bisa bekerja sendiri. Untungnya pergaulan Dalih tidak jelek-jelek amat sehingga beberapa temannya kecantol untuk bersama-sama menjajakan buku untuk dibaca anak-anak.
Salah satu relawan lapak bacaan jalanan yang terjaring metode pencarian rekan ala Dalih adalah Tri Yuniarto yang akrab dipanggil Mako. Kesan pertama saat bertemu Mako adalah orang yang memiliki kepribadian keras, dingin dengan lingkungan sekitar. Belum lagi perawakannya tinggi menjulang, berambut gondrong dan mata sayu, badan besar dan cuek untuk urusan kerapihan.
Akan tetapi kesan pertama yang timbul itu dijamin langsung berubah 180 derajat ketika kita membicarakan Perpustakaan Jalanan Cilamaya dengan Mako. Senyum sumringah langsung menghiasi wajah Mako. Ia begitu bersemangat jika diminta untuk menceritakan pengalamannya bergabung dengan Perpustakaan Jalanan.
Mako menjadi salah satu yang diceritakan oleh Dalih dan pernah terlanjur terjerumus ke dalam kehidupan hitam anak muda desa Cilamaya. Ia mengaku pernah melakukan beragam kegiatan negatif bahkan dari masa sekolah. Pemuda berusia 18 tahun lulusan SMK IPTEK Cilamaya itu sekarang bekerja sebagai fotografer dan videografer. Jika tidak ada pekerjaan maka ia fokus di Perpustakaan Jalanan.
Dia bercerita masa kelamnya berlangsung cukup lama, dan telah jenuh juga menjadi bulan-bulanan ceramah keluarga karena kenakalannya. “Jenuh juga saya dirumah, yang jelek-jelek udah pernah dilakuin semua nah makanya ini coba di Perpus Jalanan,” cerita Mako sambil mengenang masa lalunya.
Sebagai orang baru, Mako harus melalui tradisi jadi sosok yang harus siap disuruh. Angkat buku, alas lapak dan kebutuhan perpustakaan lainnya jadi rutinitas mako saat akhir pekan tiba menggantikan kebiasaannya tidur sampai siang. Tidak mengeluh, Mako mengaku menikmati peran barunya, ia sudah menganggap posisinya di Perpustakaan Jalanan sebagai tantangan baru yang menyenangkan.
Dalih sendiri menganggap peran Mako memang penting dan sangat vital saat ini di kelompok Perpustakaan Jalanan. Bahkan dia juga dianggap sebagai motor penggerak utama Perpustakaan Jalanan sekarang. “Tukang suruh ini dia, pokoknya garda terdepan kalau urusan angkat buku disuruh,” kata Dalih sambil tertawa.
Keberadaan Perpustakaan Jalanan Cilamaya ternyata juga diakui oleh kelompok – kelompok lain termasuk para club motor di sekitar Cilamaya yang kerab adu jotos. “Pernah sih bikin kerja bakti, itu semua club motor ikut dari mana-mana ga ada ribut kerja sama semua. Kami yang koordinir,” cerita Mako.
Usaha keras memang harus dilakukan agar kelompok ini tetap konsisten. Tidak ingin terjebak di satu kegiatan Dalih dan kawan-kawannya membuat program unggulan selain menggelar lapak di jalanan. Mereka jemput bola untuk mewujudkan cita-cita meningkatkan minat baca dengan menyambangi sekolah yakni Gerakan Literasi Sekolah (GLS) program lainnya tidak jauh berbeda dengan lapak yang biasa dibuka dijalanan, namun kali ini memiliki tempat lebih nyaman di teras rumah Teras Baca.
Sejak digulirkan GLS sudah menyasar sekitar 20 sekolah dasar di wilayah Cilamaya. Meskipun program debutan, rupanya GLS sudah mendapatkan tempat khusus di hati anak-anak sekolah yang dikunjungi. Pihak sekolah pun tidak jarang justru mengundang kelompok Perpustakaan Jalanan untuk kembali sambangi sekolah mereka. “Gurunya malah minta didatengin lagi,” ujar Dalih tersenyum bangga.
Tidak hanya mengandalkan buku-buku cerita, metode yang berbeda juga diusung. Misalnya dengan mengangkat suatu tema cerita. Murid diminta untuk menceritakan kembali isi dari cerita serta tokoh favorit mereka. Cara ini menurut Dalih bermanfaat baik bagi murid ataupun rekan-rekan relawannya. Bagi murid tentu ini jadi ajang mereka belajar mengeksplor pengetahuan, sosialisasi, serta bisa meningkatkan kreatifitas. Sementara bagi para relawan ini boleh jadi sarana tepat untuk meningkatkan kemampuan publik speaking.
“Jadi biar bisa tampil di depan umum teman-teman ini, kan jadi buat belajar kita juga,” kata Dalih.
Kemudian ada program Teras Baca, meskipun masih menumpang di salah satu rumah relawan tapi paling tidak berada di teras bisa lebih baik ketimbang di jalanan yang jika cuaca tidak mendukung seperti hujan maka lapak harus bubar jalan.
Di Teras Baca, biasanya sudah ada pembaca tetap. Nabila Oktavia dan Rizky Aditya adalah salah dua dari pembaca tetap itu. Nabila misalnya sangat gemar membaca cerita dongeng terutama yang berhubungan ratu dan kerajaan. Gadis mungil berusia 5 tahun ini jadi langganan Teras Baca setiap minggu pagi. ” Pagi jam 8 udah ke sini, seneng buku-buku ratu kerajaan bacanya,” katanya sambil tersipu malu.
Sama seperti rekannya, Rizky juga lebih memilih menghabiskan minggu pagi di Teras Baca ketimbang menonton televisi. Kisah para nabi merupakan favorit siswa yang duduk di bangku kelas 3, SD Mekar Maju I.
Tidak Instan
Kondisi kelompok Perpustakaan Jalanan Cilamaya ini tidak didapatkan dengan instan, tapi melalui proses panjang, ketekunan serta konsistensi dalam menjakankan program. Dalih bercerita ada momen dimana perpustakaan ini sepertinya akan mati ditengah jalan. Hal itu tidak lepas dari sedikitnya jumlah relawan.
Ia tidak bisa menyalahkan teman-temannya, karena memang sejak awal kelompok ini bukanlah kelompok yang mencari keuntungan melainkan menjalankan kegiatan sosial. Untung saja beberapa anggota relawan masih militan dan tidak kenal bosan menjalani berbagai kegiatan sosial di Perpustakaan Jalanan Cilamaya, seperti Mako.
Militansi serta dedikasi di bidang pendidikan ini bukan tanpa pemerhati. PT Pertamina Gas (Pertagas) mulai melirik gerombolan yang kerap mengisi kesunyian dan kegersangan jalanan di depan komplek perumahan Pertagas.
Vany Ardianto, Community Development Officer Pertagas Western Java Area menuturkan sebenarnya sudah tertarik dengan kegiatan anak muda dan lapak bukunya sejak awal kehadiran mereka. Namun dia sempat sebelah mata memandang keberandaan mareka karena Ia pikir lapak tidak akan bertahan lama. Apalagi dengan sifat anak muda zaman sekarang, cenderung cepat bosan.
Vany ternyata salah, setelah lama diperhatikan ternyata Kelompok Perpustakaan Cilamaya bisa membuktikan konsistensi dan komitmennya untuk turut berkontribusi dalam meningkatkan budaya membaca. Ia pun memantau berbagai kegiatan Perpustakaan Jalanan dalam kurun waktu 1 tahun lamanya.
Berdasarkan social mapping yang dilakukan manajemen perusahaan. Pendidikan di Cilamaya memang tergolong rendah. Ini tentu ada hubungannya dengan minat baca masyarakat terutama generasi mudanya. Keberadaan Perpustakaan Jalanan ternyata cocok dengan hasil social mapping perusahaan, bagaimana masih ada komunitas lokal masih bisa diajak bekerja sama untuk timbulkan minat baca di tengah masyarakat.
“Social mapping ada rekomendasi pendidikan. Nah sudah ada chemistry sama kelompok perpustakaan jalanan visi dengan perusahaan sama mau kembangin literasi di Cilamaya. Selain itu juga konsisten karena tanpa bantuan pihak lain tapi bisa berjalan lebih dari 1 tahun,” papar Vany.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, keinginan kelompok perpustakaan untuk meningkatkan kualitas program melalui ketersediaan peralatan dan bukupun bisa terwujud. Mereka mendapatkan bantuan berupa laptop, tambahan koleksi buku, alas terpal, box container atau merchandise sebagai daya tarik untuk dibagikan ke anak-anak serta rak buku. “Merchandise seperti gantungan kunci kita bagikan di GLS, jadi yang berani maju ke depan menceritakan kisah yang dia baca kita kasih,mereka seneng kalau ada seperti itu,” ujar Dalih.
Bantuan itu cukup banyak memberikan perubahan serta variasi terhadap program Perpustakaan Jalanan. Eksistensi mereka makin meningkat di mata masyarakat.
Menurut Dalih, setelah mendapatkan bantuan Pertagas, saat ini kelompok Perpustakaan Jalanan memiliki amunisi lebih untuk mengembangkan sayapnya bahkan bukan tidak mungkin memperluas pengaruh di desa Cilamaya. Pepatah mengatakan makin tinggi pohon makin kencang angin yang menerpa. Kendala di depan ternyata juga tidak akan mudah untuk dilalui. Hal ini disadari betul oleh Dalih dan rekan-rekannya. Mereka tidak bisa terus berpangku tangan mengharapkan bantuan Pertagas.
Karena itu kelompok Perpustakaan Jalanan saat ini tengah menyusun Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), kemudian ada berbagai syarat dalam berorganisasi lainnya yang sedang coba untuk dipenuhi. “Kita sih mau biar kita memiliki Surat Keputusan (SK) organisasi resmi dari pemerintah daerah atau instansi pemerintah,” kata Dalih.
Dengan memiliki SK resmi maka kegiatan Kelompok Perpustakaan Jalanan Cilamaya memiliki legalitas di mata hukum ini tentu penting untuk melakukan berbagai program dengan skala lebih besar.
Ali Hamidi, Sekretaris Desa Cilamaya menyatakan bahwa keberadaan Perpustakaan Jalanan Cilamaya sebagai salah satu motor baru peningkatan budaya dan minat baca di wilayahnya. Menurutnya kemitraan dengan Pertagas bisa berlanjut sehingga manfaat kelompok bisa lebih luas dirasakan masyarakat.
SK organisasi juga dengan senang hati akan diberikan dengan catatan para anggota kelompok memiliki komitmen untuk terus berkembang. “Kami terbuka sangat terbuka, silahkan saja diajukan tapi harus memenuhi syarat ya, kalau sudah silahkan datang diajukan,” kata Ali.(RI)
Sukse dengan keberadaan Perpustakaan berjalan, semoga bisa membantu masyarakat terpinggirkan di kabupaten Kerawang