JAKARTA – Sepanjang 2020 pengembangan energi terbarukan diakui masih belum banyak perubahan. Hal ini tentunya bisa dimaklumi di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang melanda dunia dan Indonesia.
“Kebutuhan energi banyak mengalami stagnasi akibat pertumbuhan ekonomi yang cenderung sangat melambat bahkan minus. Dampak ini tentu saja berimbas juga pada energi terbarukan,” ungkap Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), kepada Dunia Energi, Senin (5/12).
Menurut Surya Darma, sejalan dengan tekad dan tren dunia, pertumbuhan energi terbarukan masih dirasakan positif apabila dibanding dengan energi fosil lainnya.
Surya menjelaskan, hal ini tentu saja dipengaruhi oleh berbagai perkembangan yang mengarah pada penggunaan energi bersih dan target zero carbon pada 2050 yang sudah menjadi komitmen berbagai negara.
“Indonesia sendiri juga masih terikat dengan komitmen perjanjian Paris untuk menurunkan emisi karbon 29% pada 2030. Untuk ini masih perlu kerja keras untuk memenuhinya,” kata dia.
Indonesia mempunyai komitmen kepada masyarakat internasional untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dengan usaha sendiri, sampai 41% dengan kerja sama internasional, dan secara bersamaan membangun ketahanan terhadap dampak perubahan iklim. Komitmen tersebut termuat dalam Nationally Determined Contribution (NDC) sesuai dengan Paris Agreement.
Permasalahan dan dampak perubahan iklim telah mendorong Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992 yang menghasilkan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) . Dalam hal ini UNFCCC bertujuan menstabilisasi konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim sehingga ekosistem dapat memberikan jaminan pada produksi pangan dan keberlanjutan pada pembangunan ekonomi.
Mempertimbangkan perlunya kerja sama global dalam menangani dampak perubahan iklim, pemerintah Indonesia turut serta meratifikasi UNFCCC melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNFCCC. Dengan menjadi begara Pihak UNFCCC, Indonesia secara resmi terikat dengan kewajiban dan memiliki hak untuk memanfaatkan berbagai peluang dukungan yang ditawarkan UNFCCC dalam upaya mencapai tujuan konvensi tersebut.
Indonesia turut pula menjadi Negara Pihak pada beberapa perjanjian turunan dari UNFCCC, yaitu Kyoto Protocol, yang diratifikasi melalui UU No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the UNFCCC. Kemudian Doha Amendment, diterima (accepted) melalui instrument Piagam Penerimaan Doha Amendment to the Kyoto Protocol 6 Agustus 2014. Dan yang terbaru adalah Paris Agreement, yang diratifikasi melalui UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the UNFCCC pada 24 Oktober 2016, sebagai rezim baru pengendalian perubahan iklim pasca 2020.
Surya berharap pasca Covid-19 pada 2021 pemanfaatan energi terbarukan akan menuju tren yang lebih baik.
“Ada kabar bahwa Perpres (Peraturan Presiden) tentang harga energi terbarukan yang selama ini menjadi kendala, kabarnya sudah disetujui presiden untuk diterbitkan,” tandas Surya.(RA)
Berharap Perpres ini segera terbit agar proses PJBL untuk pembangkit listrik dari sumber-sumber energi terbarukan bisa segera direalisasikan. Proses PJBL dan pembangunan pembangkit listrik EBT ini sudah “tertahan” sekitar 4 TAHUN sejak 2017.
Disisi yang lain, target bauran EBT 23 % pada 2025 sudah di depan mata. Dengan asumsi kebutuhan listrik pada tahun 2025 sebesar 115 ribu MW dan ketersediaan saat ini sekitar 65 ribu MW dimana bauran pembangkit EBT pada kirasan 9 ribu MW, maka untuk mencapai bauran pembangkit listrik EBT 23 % pada tahun 2025, diperlukan sekitar 16-17 ribu pembangkit EBT yang perlu segera dibangun dalam waktu 4 tahun dari sekarang ini!.
Perlu dicatat, setelah PJBL ditanda tangani, diperlukan waktu setidaknya 30 bulan agar pembangkit listrik EBT bisa dioperasikan.
Kendala utama : pendanaan dari lembaga keuangan dan pembebasahan lahan.
Salam,