JAKARTA – Transisi energi melalui pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang digaungkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan rencananya bakal dilanjutkan Presiden Prabowo Subianto masih belum menemui titik cerah.
Dalam upaya transisi energi Indonesia, pemerintah perlu melihat keuntungan dari pensiun dini PLTU sebagai bagian dari pencapaian emisi nol bersih pada 2060 atau lebih cepat.
Penghentian PLTU batubara kini menarik perhatian sejumlah pihak, dengan dukungan dari Bank Pembangunan Asia (ADB) yang berencana menghentikan 13 PLTU, termasuk Cirebon-1, lebih awal dari jadwal. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini mengkhawatirkan potensi kerugian negara dari pensiun PLTU Cirebon-1, dengan alasan biaya besar yang ditanggung PLN dan APBN, terutama terkait peningkatan grid-transmisi untuk energi terbarukan.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menilai kekhawatiran Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan PLN sama sekali tidak berdasar. “Jika peningkatan grid-transmisi memerlukan investasi, maka itu adalah tanggung jawab pemerintah melalui APBN dan kerjasama swasta untuk meningkatkan bauran energi terbarukan. Ini seharusnya tidak dipandang sebagai kerugian negara, melainkan sebagai keuntungan dari penghematan biaya subsidi, kompensasi listrik, dan biaya kesehatan,” kata Bhima dalam keterangannya, Rabu (6/11).
Kendala infrastruktur dan finansial yang dianggap beban justru disebabkan oleh kelebihan pasokan listrik, terutama di Jawa dan Sumatra, yang mengakibatkan kerugian finansial diperkirakan mencapai Rp18 triliun pada tahun 2023 karena kapasitas yang tidak terpakai.
Bhima menambahkan bahwa paradigma dalam mengindikasikan kerugian negara juga problematis. “Peningkatan belanja pemerintah untuk proyek berbasis bahan bakar fosil, seperti bandara dan ibu kota baru IKN Nusantara, telah menguras sumber daya keuangan, sehingga mengurangi dana untuk proyek terbarukan. Apakah itu bukan kerugian negara?” ujar Bhima.
Indonesia kata dia perlu bergerak cepat. Negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam telah berinvestasi besar dalam peningkatan transmisi untuk mendukung energi terbarukan dan mengadopsi teknologi jaringan pintar untuk meningkatkan efisiensi dan keandalan, yang berpotensi menurunkan biaya bagi konsumen dan mendukung integrasi energi terbarukan, yang dapat menjadi contoh bagi Indonesia.
“Secara keseluruhan, urgensi restrukturisasi komitmen keuangan dan pengembangan inovasi dalam teknologi jaringan listrik untuk mencapai tujuan energi terbarukan Indonesia adalah tanggung jawab negara, bukan dikategorikan sebagai kerugian negara,” ungkap Bhima.
Leonard Simanjuntak, Country Director Greenpeace Indonesia, menegaskan bahwa pensiun dini PLTU batubara adalah bagian integral dari proses transisi energi yang cepat dan adil, yang memungkinkan Indonesia mengatasi dampak krisis iklim.
“Biaya untuk transisi energi, termasuk pensiun dini PLTU, tidak bisa dipandang sebagai kerugian negara. Justru, biaya yang dikeluarkan akibat kelalaian dalam transisi energi itulah yang berpotensi menimbulkan kerugian dalam konteks yang lebih luas,” ujar Leonard.
Tata Mustasya, Direktur Eksekutif Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain), menyatakan bahwa percepatan pembangunan smart grid akibat pensiun dini PLTU batubara merupakan investasi yang menguntungkan bagi Indonesia. “Kementerian Keuangan harus berperan sebagai negara yang berani berinvestasi besar untuk kemajuan masa depan. Percepatan transisi energi dan pembangunan smart grid adalah kunci bagi Indonesia untuk bertransformasi menjadi negara maju,” kata Tata.
Tata menambahkan bahwa investasi pemerintah yang besar di sektor kunci seperti teknologi informasi, aeronotika, medis, dan pengobatan terbukti menjadi kunci keberhasilan negara-negara maju. “Pembangunan smart grid dan percepatan transisi energi akan memperkuat ketahanan energi, akses energi yang inklusif, dan mitigasi krisis iklim. Keengganan untuk membangun transmisi justru akan menimbulkan ongkos besar bagi Indonesia dalam lima hingga 30 tahun ke depan. Komitmen pemerintah yang jelas juga akan memberikan sinyal positif bagi publik dan investor untuk membiayai energi terbarukan di Indonesia,” kata Tata.
Adhinda Maharani Rahardjo, Koordinator Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon (Karbon), menekankan bahwa narasi tentang potensi ‘kerugian negara’ akibat pensiun dini PLTU tidak relevan, terutama jika dilihat dari sudut pandang masyarakat di Cirebon Timur. “Masyarakat sekitar telah bertahun-tahun merasakan efek buruk dari PLTU—polusi udara yang mengganggu kesehatan, kerusakan lingkungan yang memengaruhi mata pencaharian, dan kualitas hidup yang menurun,” katanya
Dia menambahkan, mengabaikan suara masyarakat hanya akan memperpanjang beban sosial dan lingkungan yang selama ini mereka tanggung. “Jika pemerintah hanya fokus pada ‘kerugian’ finansial, kita perlu bertanya: bagaimana dengan kerugian yang dialami masyarakat di sekitar PLTU? Setiap hari mereka menghadapi risiko kesehatan yang nyata dan dampak lingkungan yang merusak keberlanjutan kehidupan lokal. Transisi energi ini bukan hanya soal menggeser infrastruktur, tetapi juga tentang mewujudkan masa depan yang lebih bersih, adil, dan berkelanjutan,” kata Adhinda.”
Komentar Terbaru