JAKARTA – Aksi pengendalian perubahan iklim baik upaya mitigasi maupun adaptasi perlu didukung oleh banyak instrumen, dan pendanaan adalah salah satunya.
Laksmi Dhewanthi, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional, mengatakan selama ini aksi pengendalian perubahan iklim didanai dari berbagai sumber, terutama dari APBN.
Berdasarkan laporan Third Natonal Communication (TNC) kepada Sekretariat UNFCCC pada 2017, untuk kurun waktu 2015-2020, Indonesia memerlukan pendanaan yang cukup besar untuk membiayai pelaksanaan komitmen adaptasi dan mitigasi dalam pengendalian perubahan iklim yaitu sebesar US$ 81 miliar.
“Untuk mencapai target NDC, APBN menganggarkan 34 % dari total kebutuhan pembiayaan iklim atau sebesar Rp 3.461 triliun. Kalau kita hanya bertumpu pada budget pemerintah, maka ini tidak akan cukup, sehingga ada beberapa strategi yang dikembangkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian LHK dan kementerian Keuangan yang menjadi focal point dalam pendanaan aksi pengendalian perubahan iklim,” kata Laksmi, dalam telekonferensi Jumat (19/3).
Laksmi mengungkapkan, terdapat empat strategi yang dikembangkan untuk mengatasi persoalan pendanaan aksi pengendalian perubahan iklim.
Pertama adalah kebijakan fiskal yang diwujudkan dalam bentuk pendapatan, pembelanjaan dan pembiayaan. Kedua adalah mengembangkan instrumen-instrumen pembiayaan yang inovatif, seperti Result-Base Payment (RBP), Global dan Ritel Green Sukuk untuk membiayai poyek hijau dalam APBN, serta pelibatan dunia usaha swasta dengan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) untuk membiayai proyek infrastruktur.
Strategi berikutnya adalah meningkatkan akses terhadap pendanaan di tingkat global seperti Green Climate Fund (GCF), Global Environment Facility (GEF), dan sumber pendaaan global lainnya.
Menurut Laksmi, dalam meningkatkan akses pendanaan global ini, tentunya ada beberapa hal yang diperbaiki seperti tata kelola, pendataan, termasuk sistem registri untuk bisa membuktikan secara valid, berapa besar capaian penurunan emisi GRK di Indonesia. Strategi terakhir adalah meningkatkan daya tarik investasi, baik itu investasi swasta, business to business, maupun antar pemerintah atau negara.
Salah satu inovasi yang dilakukan adalah meningkatkan tata kelola atau mendorong upaya Indonesia untuk memobilisasi sumber-sumber pendanaan untuk pengendalian perubahan iklim di luar APBN.
“Maka dari itu, pada bulan Oktober tahun 2019, pemerintah telah meluncurkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang mempunyai tugas untuk mengelola, memupuk dan menyalurkan berbagai macam pembiayaan yang dapat mendukung upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk pengendalian perubahan iklim,” ungkap Laksmi.
BPDLH telah mengelola sumber-sumber pendanaan yang sudah ada seperti fasilitas dana bergulir yang bersumber dari dana reboisasi yang sebelumnya dikelola oleh Badan Layanan Umum di bawah Kementerian LHK. BPDLH juga mengelola dana-dana dari RBP dari GCF, kerjasama bilateral REDD Indonesia-Norwegia, kemudian nanti juga terdapat Forest Carbon Partnership Facilitiy, BioCarbon Fund, dan lain sebagainya.
Penerima manfaat dari BPDLH nanti akan sangat luas, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, kelompok-kelompok masyarakat, para pemangku kepentingan yang diharapkan dapat berkontribusi positif pada perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Inovasi pembiayaan lainnya adalah mengembangkan kebijakan untuk memanfaatkan instrumen nilai ekonomi karbon atau dalam internasional disebut carbon pricing.
“Saat ini rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target NDC dan pengendalian emisi karbon dalam pembangunan nasional telah memasuki tahap akhir,” kata Laksmi.(RA)
Komentar Terbaru