JAKARTA – Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak pemerintah untuk merencanakan proses transisi energi di Indonesia, dengan mengakselerasi pengembangan energi terbarukan secara masif dan melaksanakan efisiensi energi dalam rangka memenuhi komitmen Indonesia untuk mencapai Persetujuan Paris, yang diratifikasi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016.

Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi mencapai target Persetujuan Paris dengan mitigasi gas rumah kaca (GRK) yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Salah satu strategi utama mencapai target 29% penurunan emisi GRK yang tertuang di NDC ialah mengakselerasi pembangunan energi terbarukan sehingga mencapai bauran sebesar 23% dalam bauran energi nasional pada 2025.

“Namun, hingga akhir 2020, bauran energi terbarukan Indonesia baru mencapai 11,5 %,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam diskusi webinar “Siapkah Indonesia Tanpa Energi Fosil”, Selasa (2/3).

Fabby menekankan pencapaian bauran energi terbarukan merupakan milestone penting untuk Indonesia berada pada jalur transisi energi. Untuk mencapai target dalam Persetujuan Paris dan net-zero pada pertengahan abad ini, emisi global harus turun menjadi 45% pada 2030.

“Agar tujuan tersebut tercapai, maka pembakaran energi fosil, yang merupakan kontributor 70% emisi GRK global, harus diturunkan,” ujar Fabby.

Hal ini ditegaskan pula pada kajian McGlade and Ekins yang dimuat di Jurnal Nature tahun 2015 yang menunjukan bahwa untuk mencegah kenaikan temperatur global tidak melebihi 2℃ maka dua pertiga cadangan energi fosil (minyak, gas dan batubara) yang saat ini ditemukan tidak boleh
dibakar. Konsekuensinya, transformasi sistem energi yang berbasis pada 100% energi bersih harus segera dipersiapkan dari sekarang sehingga dapat tercapai sebelum 2050.

Fabby mengatakan, Indonesia yang 90% pasokan energinya masih berasal dari bahan bakar fosil perlu bersiap diri melakukan transformasi energi.

“Dalam tiga dekade mendatang, kita harus mampu meningkatkan pasokan energi terbarukan secara masif, dan bertransformasi menuju sistem energi bersih,” kata dia.

Menurut Fabby, transformasi energi yang meninggalkan energi fosil yang kotor menuju energi bersih tidak bisa dilakukan secara serampangan dan sesaat, melainkan butuh perencanaan di berbagai bidang, risiko perlu dipetakan dan strategi mitigasi perlu dipersiapkan untuk mengurangi dampak negatif
dan biaya ekonomi. “Untuk itu diperlukan strategi dan peta jalan transisi energi di Indonesia,” kata Fabby.(RA)