JAKARTA – Pengambilalihan kewajiban PT Chevron Pasific Indonesia atas pembangkit listrik yang dikelola PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) di Wilayah Kerja Rokan, Provinsi Riau, dinilai berpotensi menimbulkan kerugian bagi negara. PT PLN (Persero) diketahui telah melakukan penandatanganan Conditional Sale & Purchase Agreement (SPA) Perjanjian Jual Beli Saham (PJBS) PT MCTN untuk kelistrikan Blok Rokan, Selasa (6/7).
“Apakah sudah mempertimbangkan temuan BPK 2006 soal pembangkit listrik MCTN? Apakah risiko-risiko hukum dari SPA ini sudah dikaji atau dianalisa dengan benar? ” kata Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Selasa (6/7).
Yusri juga mempertanyakan mitigasi PLN atas risiko-risiko hukum yang mungkin timbul. Apabila SPA dilaksanakan bukan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, PLN semestinya sudah mendapatkan clean legal opinion dari legal counsel terpercaya.
CERI sebelumnya pada April 2021 telah melayangkan surat elektronik yang ditujukan kepada Ketua BPK perihal permohonan informasi dan konfirmasi tentang Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK pada 2006 atas Pembangkit Listrik Blok Rokan.
Upaya tersebut mengingat proses transisi operator Blok Rokan dari Chevron Pasific Indonesia ke PT Pertamina Hulu Rokan (yang pada 8 Agustus 2021 diyakini berpotensi terganggu akibat status pembangkit listrik Cogen North Duri, yang disebut bukan barang milik negara, tetapi milik PT MCTN.
Yusri menjelaskan menurut LHP BPK RI tahun 2006 yang memeriksa buku tahun 2004-2005, telah menghasilkan banyak temuan penting tentang kecacatan peraturan (onwetmatigeheid) secara hukum (onrechtmatigeheid) perjanjian ESA (Energy Service Agreement) antara Chevron dengan MCTN. Oleh karena pemegang 95% saham MCTN adalah Chevron Standard Limited (CSL) terafiliasi dengan Chevron, sehingga merupakan related party transaction. Selain itu, penunjukan MCTN oleh Chevron ternyata tidak melalui proses tender. Sementara itu, pemilik 5% saham MCTN adalah PT Nusa Galih Nusantara (Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949).
“Related party transaction dan penunjukan langsung itu jelas melanggar, bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pengadaan Barang dan Jasa (onwetmatige) atau setidaknya bertentangan dengan kepantasan dan kepatutan yang harus diindahkan dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian, jadi bersifat melawan hukum (onrechtmatige),” ungkap Yusri.
Dalam Laporan BPK tersebut, ada beberapa rekomendasi BPK, antara lain meminta agar mengusut siapa yang terlibat dalam pembuatan ESA (Energy Service Agreemnet) antara CPI dengan MCTN yang sangat bermasalah kelahirannya dari persfektif peraturan perundang undang dan atau hukum itu.
Selain itu, tarif listrik yang dibebankan kepada Chevron oleh MCTN ternyata relatif jauh lebih mahal dari tarif listrik PLN, dan oleh CPI dibayar dan dibebankan kepada negara dengan skema cost recovery, meskipun pasokan energi primer berupa gas disediakan oleh Chevron sebagai komponen C dari tarif dasar listrik.
Dengan demikian, biaya listrik dan steam yang dibayarkan kembali oleh negara cq pemerintah sangat diragukan kewajaranya dan bisa-bisa telah mengakibatkan kerugian negara bagi pemerintah sebesar US$210 juta serta berpotensi merugikan negara US$1,23 miliar sampai 8 Agustus 2021 sebagai batas akhir kontrak.
“Ternyata apa yang dikhawatirkan dari LHP BPK saat itu faktanya dirasakan saat ini, bahwa pembangkit listrik itu oleh SKK Migas telah dinyatakan bukan menjadi milik negara, tetapi tetap milik MCTN. Yang berati mengukuhkan (bekrachtiging) perjanjian ESA dulu yang cacat hukum itu,” kata Yusri.(RA)
Komentar Terbaru