JAKARTA – Tingginya harga komoditas termasuk minyak bumi membuat harga BBM maupun LPG di pasaran juga ikut terkerek naik. Dengan masih banyaknya impor baik BBM maupun LPG maka beban terhadap keuangan negara hampir dipastikan juga akan ikut terbebani. Apalagi konsumsi juga diproyeksi akan bertambah dan pemerintah sudah mengantisipasi dengan memberikan lampu hijau terhadap penambahan kuota volume BBM subsidi dan penugasan. Di sisi lain hingga kini pemerintah dan Pertamina masih konsisten mempertahankan harga BBM jenis Solar dan Pertalite serta LPG 3 Kg tidak naik di tengah harga minyak mentah global yang terus bertahan di atas U$ 110 per barel. Padahal sejumlah badan usaha domestik– termasuk juga di luar negeri—menaikkan harga BBM, jauh di atas harga BBM subsidi dan BBM nonsubsidi yang dijual Pertamina.
Pemerintah pun berjibaku untuk menekan beban yang timbul akibat tidak adanya kenaikan harga BBM. Salah satu caranya adalah dengan mengendalikan penyaluran BBM subsidi dan penugasan yakni Solar dan Pertalite dengan memanfaatkan teknologi yakni melalui aplikasi MyPertamina.
Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan, mengungkapkan subsidi seharusnya diberikan kepada orang yang membutuhkan bukan kepada barang sehingga lebih tepat sasaran. “Kita menuju ke sana tapi proses panjang terkait database yang mumpuni dan subsidi juga idealnya sudah bisa semakin di efisienkan. Itu bicara dalam konteks normal. Saat ini situasi tidak normal,” kata Yustinus disela webinar yang digelar oleh E2S bertajuk Generating Stakeholders Support for Achieving Effectiveness of Fuel and LPG Subsidies, Rabu (29/6).
Dia menuturkan hingga akhir tahun 2021 tidak pernah diramalkan perang akan terjadi antara Rusia-Ukraina, lalu tidak akan ada lonjakan harga tajam terkait komoditas termasuk minyak bumi dan dinamika kebijakan moneter di Amerika Serikat.
“Ini jadi background kenapa pemerintah dan DPR tetap mempertahankan subsidi dan kompensasi dalam rangka keselamatan rakyat itu hukum tertinggi. Terlepas diskusi dll kita fokus ke perlindungan masyarakat itulah sebabnya APBN diupayakan jadi shock absorber,” jelas Yustinus.
Untuk tahun ini alokasi subsidi dengan asumsi harga ICP US$100 per barel sebesar Rp74,9 tiliun sementara untuk kompensasi Rp324,5 triliun. Sementara yang akan dibayarkan tahun ini alokasi anggaran yang disiapkan sebesar Rp275 triliun. Ini dinamis sangat fleksibel melihat perkembangan harga global. Jika nanti harga ICP diatas US$100 per barel atau dibawah tentu dapat penyesuaian dan bisa kita efisiensikan kalau dibawah US$100 per barel. “Tapi prinsipnya pemerintah mau dukung dalam jangka pendek ini,” ungkap Yustinus
Saleh Abdurahman, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas), menjelaskan volume kuota BBM baik itu Solar maupun Pertalite hampir dipastikan akan melebihi kuota apabila jika tidak ada tindakan.
Berdasarkan data BPH Migas, hingga 20 Juni ini realisasi penyaluran solar sudah mencapai 51,24% dari kuota yang sudah ditetapkan sebelumnya yakni 15,1 juta Kiloliter (KL). Kemudian untuk realisasi penyaluran Pertalite sudah mencapai 57,56% dari kuota sebelumnya yakni 23,05 juta KL.
Ke depan sistem yang dibangun oleh Pertamina melalui MyPertamina diharapkan bisa langsung jalan keluar untuk bisa mengatur penyaluran subsidi.
“Sistem MyPertamina akan bisa kawal itu, bahwa seseorang sudah isi hari ini misalnya 60 liter itu maka hari itu dia tidak bisa pergi ke SPBU lain sehingga betul-betul terkontrol konsumen kita. Lalu kami juga terbitkan surat rekomendasi JBT solar agar ada pengawasan kuat,” jelas Saleh.
Mars Ega Legowo, Direktur Pemasaran Regional PT Pertamina Patra Niaga, menuturkan Pertamina dalam hal ini Pertamina Patra Niaga (PPN) sebagai badan usaha penugasan mempunyai tanggung jawan secara korporasi untuk jalankan tugas dengan baik. BBM produk subsidi ini harga diatur dan volume diatur.
Dia menjelaskan subsidi sebenarnya sudah mengalami beberapa kali transformasi dari sebelumnya selling out dihitung sejak BBM keluar dari terminal Pertamina kini dihitung sampai BBM diterima ke masyarakat.
“Ternyata seiring perkembangan waktu itu nggak cukup. Kita diminta pada siapa itu disalurkan. Ketika tuntutannya ke siapa disitu kita kembangkan digitalisasi terhubung langsung ke end user, disitu kami kembangkan MyPertamina,” jelas Ega.
Dia menegaskan tanggal 1 Juli 2022 nanti adalah tahap registrasi bagi masyarakat bukan merupakan pembatasan pembelian Pertalite maupun Solar.
“Data akan dikoordinasikan untuk tahap awal belum ada verifikasi, sifatnya kami masih mencocokkan masyarakat upload STNK upload No Polisi, foto kendaraan dan NIK. Nanti akan dicocokan benar nggak kendaraan ini dll. Belum validasi data itu valid atau belum kami baru gathering data kalau cocok, approve nanti masyarakat dapat QR Code melalui email,” jelas Ega.
Toto Pranoto, Pengamat BUMN dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menjelaskan subsidi yang besar membuat tidak hanya berdampak bagi negara tapi juga Pertamina. Kenaikan harga minyak global berdampak signifikan terhadap cost of sales & operating expenses Pertamina sehingga mengalami kenaikan signifikan mencapai 41%.
“Dari sudut pandang Pemerintah, utang PSO pemerintah juga relative besar, yaitu Rp5,87 Trilliun sepanjang 2021 sehingga inisiatif pengurangan subsidi dapat mengurangi utang PSO Pemerintah,” jelas Toto.
Komentar Terbaru