JAKARTA – Pemerintah saat ini berada pada pilihan sulit untuk mengimplementasikan harga gas maksimal US$6 per MMBTU. Pasalnya cara yang diambil untuk membuat harga gas sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tersebut harus mengorbankan penerimaan negara di sektor hulu migas. Disisi lain saat ini pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk penanganan pandemi virus Corona atau Covid-19.

Pemerintah sebelumnya menjanjikan implementasi harga gas industri pada 1 April 2020, namun hingga belum ada keputusan pasti mengenai penerapannya.

Nasyirul Falah Amru, Anggota Komisi VII DPR, mengatakan kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam mengimplementasikan penurunan harga gas menjadi US$6 per MMBTU perlu dievaluasi, baik dari sisi mekanisme penurunan harga, tata cara maupun waktu pelaksanaanya.

“Perlu dikaji ulang peraturan menteri turunannya yang saat ini masih diharmonisasi. Jangan ambil kebijakan sepihak dan terkesan memudahkan masalah,” kata Falah, Kamis (9/4).

Untuk menurunkan harga gas industri justru akan mengurangi pendapatan negara dari sisi hulu, sebab pemerintah akan menurunkan harga gas di hulu berkisar US$ 4-4,5 per MMBTU dengan mengurangi bagian negara.

Menurut Falah, sikap pemerintah dalam masalah ini sangat penting, terutama agar bisa memastikan seluruh pihak yang terkait dengan kebijakan tersebut nantinya dapat benar-benar bertanggung jawab dan memastikan keseluruhan proses implementasi baik manfaat yang diterima oleh industri, menjaga keekonomian pengelolaan bisnis penyaluran gas, dan yang paling penting memperhatikan kondisi keuangan negara di tengah penanganan virus Corona.

Falah menilai saat ini seluruh energi dan perhatian diprioritaskan pada penanganan corona agar Indonesia dapat keluar dari pandemi virus tersebut. Terlebih pemerintah telah menetapkan penambahan alokasi belanja untuk mencapai lebih dari Rp400 triliun guna membiayai berbagai program yang berdampak langsung dengan ekonomi masyarakat.

Pemerintah sendiri baru-baru ini telah menerbitkan surat utang terbesar sepanjang sejarah Indonesia dengan akumulasi nilai sebesar US$ 4,3 miliar atau setara Rp 68,8 triliun (dengan kurs US$ 1 = Rp 16.000). Dengan negara harus kembali berutang, kebijakan mensubsidi harga gas industri dikhawatirkan justru menambah beban terhadap keuangan negara yang harus merelakan salah satu pemasukannya dari sektor hulu migas.

“Beban keuangan negara yang sudah defisit sebagaimana kita bisa lihat dalam Nota Keuangan ditambah kebutuhan anggaran yang besar untuk pemulihan dan penanganan pandemi ini jangan direcoki dan ditambah lagi dengan beban untuk memberikan subsidi harga gas industri,” ungkapnya.

Menurut Falah, jika harga gas mau diturubkan dengan merelakan pemasukan negara harus dilihat dulu kemampuan keuangan negara atau APBN. Karena itu harus dicari solusi lain yang lebih kreatif, sehingga industri bertahan namun tidak mengganggu keuangan negara.

Selain itu investasi migas baik hulu dan hilir juga perlu diperhatikan, agar jangan sampai penerapan perpres 40 justru menghambat pengembangan infrastruktur serta pemanfaatan gas.

“Ingat, sampai 2025 sesuai perencanaan pemerintah, Indonesia itu butuh bangun infrastruktur gas sepanjang lebih dari 17 ribu km dengan biaya sebesar Rp 277 Triliun. Masih dipegang tidak komitmen tersebut oleh ESDM kalo perencanaan industri migas dihajar babak belur dengan kebijakan yang tidak komprehensif seperti ini,” jelas Falah.