JAKARTA – Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) maupun PT PLN (Persero) mendorong penerapan co-firing atau penggunaan biomassa sebagai campuran bahan bakar alternatif Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pengganti batu bara. Namun penggunaan biomassa justru memiliki potensi memberikan beban keuangan bagi PLN maupun negara lantaran harga biomassa yang tinggi di pasaran.
Putra Adhiguna Padahal, Analis Keuangan Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), mengatakan rencana penerapan co-firing bukan solusi tepat untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23% di 2025. Harga biomassa berkualitas tinggi di pasar saat ini lebih mahal daripada batu bara. Sementara untuk batu bara saj PLN membelinya pada harga yang lebih rendah dari harga keekonomiannya. Sehingga, rencana co-firing ini berpotensi menimbulkan risiko keuangan bagi PLN. Jika tidak mau berikan dampak bagi PLN maka lagi-lagi negara harus turun tangan atau sama saja berikan subsidi ke PLN agar mampu biomassa mau diserap tanpa harus mengubah harga listrik ke masyarakat.
“Untuk PLN, (co-firing) akan tingkatkan risiko keuangan PLN. Saya belum lihat bagaimana (co-firing) hingga 9 juta ton tanpa dukungan pemerintah bisa jalan,” kata Putra, Rabu (17/3).
Untuk permulaan jika mau co-firing berjalan memang dukungan pemerintah bisa dibilang mutlak. Ini bisa dilihat dari penerapan di Inggris. Di sana PLTU yang terapkan co-firing yang masih dicampur dengam batu bara tidak dilanjutkan setelah Pemerintah Inggris mencabut subsidinya. Ketika PLTU Drax itu sepenuhnya beralih ke biomassa baru PLTU kembali beroperasi setelah mendapat subsidi £ 700 juta per tahun.
“Salah alasan pemerintah Inggris mencabut karena khawatir batu bara akan semakin banyak yang ‘tersubidi’ juga dengan co-firing,” kata Putra.
Menurut Putra, harga menjadi masalah utama. Harga biomassa yang cukup tinggi ini untuk pelet kayu. Memang ada jenis biomassa lain, seperti serbuk gergaji, harganya lebih rendah akan tetapi kandungan kalorinya rendah. Pelet kayu merupakan jenis biomassa yang kalorinya mendekati batu bara. “Harga dari biomassa ini tanpa ada dukungan subsidi tidak mungkin semurah yang diproyeksikan PLN,” ungkapnya.
Masalah harga juga berkaitan dengan jaminan pasokan. Saat ini beberapa negara lain sudah siap membeli biomassa bahkan dengan harga dua kali lipat batu bara. Di Indonesia sendiri, meski memiliki potensi biomassa besar, kapasitas produksinya masih sangat sedikit. Sehingga jika mau masih dibutuhkan investasi besar untuk meningkatkan produksi biomassa agar bisa memenuhi kebutuhan PLN. Tapi di sisi lain, proyeksi permintaan biomassa PLN tidak konsisten membuat investor ragu akan rencana co-firing ini.
“Sementara (porsi batu bara) PLN dan IPP (independent power producer/produsen listrik swasta) sudah terbalik. Kecil sekali (kebutuhan biomassa) kalau pembangkit PLN. Tetapi IPP tidak semudah itu mau terapkan co-firing, akan ada perdebatan kontraktual pembangkit memakai biomassa,” kata Putra.
Dengan berbagai tantangan ini, pihaknya melihat dibutuhkan perencanaan matang dan dapat dipertanggungjawabkan untuk co-firing PLTU ini. Selain itu, pemerintah juga perlu mengkaji manfaat dan dampak dukungan kebijakan untuk rencana ini, salah satunya terkait pengembangan energi terbarukan lainnya.
“Apakah ini jadi pembenaran untuk (penggunaan) PLTU. Co-firing ini kan hanya berapa ribu ton kalau dibandingkan batu bara,” kata Putra.(RI)
Komentar Terbaru