JAKARTA – Untuk mencapai zero carbon pada 2050, PT PLN (Persero) seharusnya menggunakan 100% energi baru terbarukan (EBT) untuk seluruh pembangkit listrik. Data menunjukan hingga akhir 2020, energi fosil pada bauran energi pembangkit listrik masih sebesar 87,85%, yang dominasi batu bara sebesar 57,22%, sedangkan EBT baru mencapai sebesar 12,16%. Capaian EBT itu masih jauh di bawah target ditetapkan sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050 sepanjang keekonomiannya terpenuhi.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) juga mematok target kapasitas pembangkit listrik sekitar 115 giga watt (GW) pada 2025 dan 430 GW pada 2050. Target itu untuk memenuhi pemanfaatan listrik per kapita sekitar 2.500 kilo watt per hour (KWh) pada 2025 dan pada 2050 sekitar 7.000 KWh. Pemenuhan target kapasitas pembangkit tersebut diharapkan menggunakan EBT untuk mencapai 100% EBT
Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, mengatakan untuk meningkatkan EBT dalam bauran energi sesuai target ditetapkan, PLN sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya, di antaranya menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), dan Tenaga Listrik Atap (Rooftop). PLN juga telah mengembangkan berbagai inovasi terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara. “PLTU-PLTU itu dapat menghasilkan listrik energi bersih, yang lebih ramah lingkungan. Namun, tetap saja kapasitas pembangkit listrik EBT masih kecil,” katanya, Senin(13/9).
Tanpa ada upaya terobosan, kata Fahmy, PLN diproyeksikan tidak akan dapat mencapai 100% EBT, yang dipersyaratkan untuk mencapai zero carbon pada 2050.
“Salah satu upaya terobosan itu adalah mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sejak sekarang,” ujar Fahmy.
PLTN adalah pembangkit listrik daya thermal yang menggunakan reaktor nuklir, dengan uranium sebagai bahan utama untuk menghasilkan panas yang sangat besar. PLTN termasuk energi bersih, yang dapat melengkapi (complemtary) dalam bauran energi pembangkit listrik. PLTN sekaligus dapat mengatasi kelemahan Pembangkit Listrik EBT, yang tidak dapat memasok listrik secara penuh (intermittent) dalam setiap waktu. Pasokan listrik PLTS menjadi berkurang pada saat cuaca mendung dan hujan. Pasokan listrik PLTB ditentukan tinggi-rendahnya tiupan angin. Dalam kondisi tersebut, PLTN dapat memasok listrik pada saat PLTS dan PLTB mengalami penurunan pasokan listrik.
Menurut Fahmy, agar pengembangan PLTN di Indonesia dapat berjalan lancar dibutuhkan beberapa prasyarat. Pertama, komitmen yang kuat dari kepala negara untuk merealisasikan PLTN.
“Paling tidak komitmen itu serupa dengan komitmen Presiden Joko Widodo dalam membangun jalan toll di Indonesia,” ujar Fahmy.
Kedua, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Energi Nasional (DEN) harus merealisasikan komitmen Joko Widodo dengan mengubah KEN, yang selama ini menempatkan energi nuklir sebagai alternatif terakhhir, harus diubah menjadikan energi nuklir sebagai energi prioritas.
Ketiga, melakukan kampanye publik untuk meningkatkan tingkat penerimaan masyarakat (public acceptances rate) terhadap penggunaan PLTN. Selama ini tingkat penerimaan masyaarakat terhadap PLTN masih sangat rendah. Salah satunya disebabkan oleh trauma kecelakaan reaktor nuklir di beberapa negara, di antaranya Jepang, Rusia dan Ukrania. Namun, kemajuan teknologi reaktor nuklir terbaru, yang digunakan oleh Rostov Rusia, dapat mencegah terjadinya kecelakaan nuklir hingga mencapai nol persen (zero accident).
Fahmy menyampaikan bahwa tanpa mengembangkan energi nuklir akan sangat sulit bagi PLN untuk mencapai 100% Pembangkit Listrik EBT, yang menjadi syarat untuk mencapai zero carbon pada 2050.
“Untuk mencapai zero carbon tersebut, saatnya bagi Indonesia untuk secara serius dan terus-menerus mengembangkan energi nuklir pembangkit listrik,” ujarnya. (RA)
Komentar Terbaru