JAKARTA – Kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) nasional saat ini sebesar 1.948,5 megawatt (MW) atau baru 11,7% dari kapasitas cadangan energi panas bumi yang tersebar di 11 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) di seluruh Indonesia.
Riki F Ibrahim, Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero), mengatakan permasalahan dalam pengembangan panas bumi di Indonesia antara lain faktor keterdapatan yang banyak dijumpai pada kawasan hutan lindung,
“Serta efisiensi biaya untuk mencapai keekonomian harga listrik, isu sosial dan cadangan yang tidak sesuai dengan perencanan,” ujar Riki di Jakarta, baru-baru ini.
Dia menambahkan, untuk harga keekonomian listrik panas bumi, saat ini mengacu pada Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Harga jual listrik panas bumi adalah sebesar harga biaya pokok produksi (BPP) pembangkit nasional.
Dalam hal BPP pembangkitan di sistem ketenagaiistrikan setempat di atas rata-rata BPP pembangkitan nasional, harga pembelian tenaga listrik dari PLTP, paling tinggi sebesar BPP pembangkitan di sistem ketenagaiistrikan setempat. Untuk BPP pembangkitan di sistem ketenagalistrikan di wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali atau sistem ketenagalistrikan setempat lainnya sama atau di bawah rata-rata BPP pembangkitan nasional, harga pembelian mengurangi laju impor.
Menurut Riki, manufaktur pembangkit listrik berskala kecil dapat menjadi prioritas karena upaya peningkatan TKDN manufaktur pembangkit masih belum dapat insentif yang menarik. Misalnya, apabila diberikan jaminan harus dipakai kepada seluruh pengembang panas bumi.
Skala pembangkit listrik panas bumi sangat fleksibel, dari mulai skala kecil untuk desa hingga skala besar, yakni 5 MW-110 MW per unit. Untuk berbagai skala sistem kelistrikan dari sistem isolated sampai dengan sistem besar yang terinterkoneksi seperti sistem Jawa-Bali.
Pemerintah melalui Kepala BKPM mengundang investasi manufaktur pembangkit listrik teknologi uap dan ORC (Organic Rankin Cycle) berskala kecil (Small Scale) karena strategi pengembangan berskala kecil, terbukti dapat memperbaiki neraca keuangan pengembang dari 5-7 tahun menjadi hanya dua tahun.
Riki menekankan bahwa pemanfaatan panas bumi dalam jangka panjang sangat menguntungkan. Selain akan berkontribusi pengurangan gas rumah kaca (C02), sifatnya yang merupakan energi terbarukan (renewable) dan harga jual cenderung konstan, tidak terpengaruh fluktuasi harga sebagaimana energi yang bersumber dari energi fosil.
Panas bumi merupakan energi terbarukan yang sifatnya bersih, ramah lingkungan dan tidak dapat dialih tempatkan (ekspor) serta dalam pengelolaannya relatif tidak memerlukan lahan yang luas.
“Pemanfaatan panas bumi umumnya berupa pemanfaatan langsung seperti untuk pemandian air panas, pengeringan dan pemanfaatan tidak langsung untuk pembangkit tenaga listrik,” kata dia.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor panas bumi sepanjang semester I 2018 telah mencapai Rp661 miliar atau 93,80% dari target 2018 Rp700 miliar.
PNBP panas bumi bersumber dari setoran bagian pemerintah, iuran tetap eksplorasi, iuran tetap produksi, dan iuran produksi atau royalti. Setoran bagian pemerintah dari WKP yang sudah ada yaitu Rp635 miliar (dari total penerimaan Rp661 miliar pada 2018).
Izin panas bumi sebesar Rp25 miliar, dimana untuk Geo Dipa Energi sebesar US$ 2 per hektar WKP yang terdiri dari Lapangan Candi Umbul dan Lapangan Arjuno Welirang atau sekitar US$ 120,000 (Rp 1,7 miliar) per tahun. Jumlah tersebut belum termasuk bonus produksi sebesar 0,5% dari pendapatan yang langsung masuk ke kas pemerintah daerah penghasil panas bumi.
“Kebutuhan nasional pembangunan pembangkit listrik berbasis energi panas bumi sudah tidak bisa ditunda lagi. Pertumbuhan ekonomi menjadikan pasokan listrik terus meningkat, sehingga sumber energi ketenagalistrikan berbasis panas bumi di Indonesia harus dioptimalkan,” kata Riki.(RA)
Komentar Terbaru