JAKARTA – Sepanjang 2017 dinilai menjadi tahun ketidakpastian untuk penyediaan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Pemerintah sepanjang tahun ini telah mengeluarkan 14 peraturan atau kebijakan yang signifikan terkait listrik dan akses listrik serta EBT. Ke-14 peraturan/kebijakan tersebut terdiri dari dua Perpres,12 Permen ESDM, dan dua Kepmen ESDM.
“Sepanjang 2017 ini terdapat perubahan kebijakan pemerintah (khususnya ESDM) yang cukup dinamis rata-rata 5,5 bulan, terkait tarif tenaga listrik, pokok-pokok perjanjian jual beli listrik dan pemanfaatan EBT di Indonesia. Perubahan ini tidak selalu berdampak postitif bagi pengembangan EBT, bahkan cenderung negatif,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam Indonesia Clean Energy Outlook 2018 & Stakeholders Dialogue, di Jakarta, Kamis (21/12).
Fabby mengatakan kebijakan Feed in Tariff (FiT) yang sebelumnya menjadi insentif untuk mendorong investasi EBT tergusur dengan kebijakan baru, yang mendorong kompetisi dengan harga energi dari pembangkit fosil yang mengacu pada BPP yang ditetapkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.12/2017joNo.43/2017, yang kemudian diganti dengan Permen ESDM No.50/2017.
Adanya peraturan tersebut memicu penurunan kepercayaan dan daya tarik investor terhadap investasi EBT di Indonesia. Pada 2017, Indonesia keluar dari 40 negara dengan peringkat indeks daya tarik investasi Energi terbarukan atau Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) yang dikeluarkan oleh firma E&Y. Pada daftar peringkat RECAI yang dirilis pada Oktober 2016, Indonesia berada pada peringat 38. Adapun pada RECAI yang dirilis pada Mei 2017 dan Oktober 2017, Indonesia tidak lagi berada dalam peringkat tersebut.
Indeks RECAI memberikan gambaran bahwa kualitas kebijakan, regulasi, dan strategi serta kualitas kontrak untuk pengembangan dan pemafaatan energi terbarukan menunjukkan tren penurunan. Minimnya minat investasi memberikan konsekuensi serius terhadap upaya-upaya untuk mencapai target EBT sesuai dengan target RPJMN, KEN/RUEN, dan implikasi terhadap kemampuan Indonesia memenuhi target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang disampaikan dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Fabby menambahkan, indikasi lain terlihat dari pencapaian EBT yang baru mencapai 7% dari bauran energi nasional tahun 2017.Laju pertumbuhan EBT selama lima tahun terakhir terlihat masih rendah dengan laju 0.4% per tahun. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh IESR dengan asosiasi pengembang EBT, sebagian besar mengeluhkan hilangnya mekanisme FiT, dan bankability proyek EBT yang tidak layak.
Sejumlah pengembang juga menilai adanya tambahan biaya kapasitas paralel sesuai Permen ESDM No. 1/2017 menjadi hambatan untuk penggunaan EBT, misalnya pembangkit listrik surya atap.
“Para pengembang juga mengeluhkan minimnya transparansi proses perumusan kebijakan dan regulasi dibidang listrik dan EBT selama 2017, dan minimnya dialog antara pemerintah dan pengembang untuk menyamakan perspektif mengenai jargon listrik murah, yang menjadi alasan Menteri ESDM melakukan berbagai perubahan regulasi,” ungkap Fabby.
IESR menilai pada 2017 juga menjadi tahun peningkatan akses listrik dan kehandalan pasokan listrik di Indonesia. Hal ini terlihat dari peningkatan rasio elektrifikasi sampai dengan 93,5% pada November 2017 dan peluncuran program akselerasi untuk melistriki desa melalui program Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) melalui Perpres No.47/2017 dan Permen ESDM No.33/2017.
Menurut Fabby, dapat dikatakan bahwa target peningkatan akses listrik ini masih on-track (97%) untuk mencapai target RPJMN 2019. Penyesuaian tarif juga telah dilakukan untuk golongan rumah tangga 900VA. Golongan ini memiliki segmen pelanggan sebanyak 18,5 juta pelanggan pada 2017. Penyambungan listrik pun menunjukkan perbaikan dalam peringkat Ease of Doing Business di 2017, dari peringkat 61 di 2016 menjadi peringkat 49 di 2017.
Pencapaian pada 2017 tersebut perlu tetap dikawal untuk 2018 mendatang. Masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan diantisipasi di tahun 2018. Di antaranya adalah potensi penurunan pertumbuhan permintaan listrik yang masih berlanjut, partisipasi pihak swasta (IPP) dalam melistriki program 35 GW yang diperkirakan akan wait and see terkait ketidakpastian pelaksanaan kontrak-kontrak PPA dengan PLN.
Penekanan terhadap biaya produksi listrik PLN dan subsidi juga menjadi perhatian dikarenakan adanya potensi kenaikan pelanggan listrik rumah tangga yang memerlukan subsidi serta kenaikan biaya produksi listrik akibat kenaikan harga energi primer (batu bara, gas dan BBM).
Untuk EBT, perkembangan pembangunan yang off-track dari target RPJMN 2019 dari target 16% di 2019 hanya tercapai 6,9% hingga 2016. Pencapaian ini perlu digenjot dengan kondisi peraturan/kebijakan serta iklim investasi yang mendukung.
“Dengan adanya mode wait and see yang saat ini dilakukan oleh pengembang dan investor, langkah revisi Permen ESDM No.50/2017 yang akan dilakukan oleh Kementerian ESDM merupakah langkah strategis dan signifikan,” kata Fabby.(RA)
Komentar Terbaru