JAKARTA – Indonesia termasuk lima besar negara produsen batu bara di dunia dengan rata-rata produksi 440 juta ton per tahun. Sebanyak 75%-85% batu bara yang diproduksi diekspor ke luar negeri, sebagian besar ke China dan India. Sisanya digunakan untuk bahan bakar listrik dalam negeri.
Maryati Abdullah, Kordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mengatakan sejatinya diperlukan konsistensi dalam pengendalian produksi atau penjualan batu bara nasional agar sejalan dengan kebijakan energi (Rencana Umum Energi Nasional/RUEN) dan perencanaan pembangunan nasional (RPJMN).
“Laju produksi dan ekspor batu bara yang tinggi, problem tata kelola perizinan di hulu, dan dampak lingkungan, sosial serta korupsi menuntut kehati-hatian dalam pengelolaan batu bara, transparansi dan pembersihan sektor ini dari unsur korupsi, monopoli, dan konflik kepentingan politik, bisnis, kebijakan,” kata Maryati dalam acara diskusi di Jakarta, Rabu (13/2).
Dia menambahkan, dengan mempertimbangkan dampak sosial dan eksternalitas lingkungan (emisi, konflik lahan, korban lubang tambang) dan produksi serta pengembangan PLTU batu bara, maka over eksploitasi batu bara harus dicegah dan dikendalikan sedini mungkin sesuai dengan daya dukung lingkungan.
Menurut Maryati, mekanisme perizinan sektor sumber daya alam (SDA) harus mempertimbangkan hak-hak masyarakat sekitar, pemenuhan standar kepatuhan perizinan, dan pemenuhan standar keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Proses penawaran,perpanjangan maupun terminasi dan pelaksanaan kontrak-kontrak konsesi wilayah tambang harus dijalankan secara transparan, akuntabel, dan memperhitungkan risiko-risiko investasi dan penyertaan modal (pusat-daerah) dan konteks peningkatan efek berganda bagi pembangunan nasional dan daerah.
“Perlu upaya yang lebih terpadu dan berkelanjutan dalam pengawasan good mining practices, satu peta dan satu data. Serta penertiban dan perbaikan problem tata guna lahan dan hutan, baik untuk mengatasi tumpang tindih, deforestasi, degradasi hutan, izin dan pertambangan ilegal serta pengoptimalan akses perhutanan masyarakat,” kata Maryati.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah ketergantungan fiskal pada penerimaan sumber daya alam khususnya pajak dan PNBP harus dikurangi secara progresif. Karena, selain faktor volatilitas pasar, juga ketersediaannya yang tidak berkelanjutan (unrenewable) serta menimbulkan keterjebakan pada ekonomi konservatif (berbasis sektor primer) yang tidak berkelanjutan.
Maryati mengatakan, diperlukan pergeseran paradigma (paradigm shifting) yang progresif dan pemanfaatan SDA yang dipandang sebagai sumber komoditas dan penerimaan negara semata menjadi trigger pembangunan yang efektif dan berdampak ganda bagi pembangunan ekonomi yang produktif, penting (resilience) dan berkelanjutan.
“Perubahan tersebut bukan hanya pada kebijakan yang normatif, namun perlu dilakukan mainstreaming pada tataran teknis,” tandas Maryati.(RA)
Komentar Terbaru