JAKARTA – Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) hingga saat ini masih cenderung lamban. Hal ini diyakini karena tarik-menarik antara kepentingan jangka pendek dan menengah dengan visi jangka panjang pengembangan energi bersih.
Oleh karenanya, Pemerintah seharusnya melakukan perubahan pada sejumlah kebijakan dalam industri kelistrikan agar target pengembangan pembangkit listrik berbasis EBT bisa dicapai. Hal itu penting dilakukan agar kepentingan jangka pendek dan menengah untuk memenuhi kebutuhan listrik saat ini dengan harga terjangkau dan tidak membebani Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN), bisa selaras dengan visi jangka panjang pengembangan energi bersih.
“Hal ini tentang tarik-menarik antara soal penyediaan listrik yang harganya terjangkau oleh masyarakat dan besaran subsidi dalam APBN dengan visi negara untuk menyediakan energi bersih berbasis EBT dan sekaligus mengurangi sebanyak-sebanyaknya pembangkit listrik berbasis fosil,” kata Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Minggu (22/5).
Sesuai Kesepakatan Paris, Indonesia sudah mencanangkan Karbon Netral (Net Zero Emission) pada 2060 atau lebih cepat. Sebagai target antara, Indonesia akan mengejar bauran energi (energy mixed) di sektor kelistrikan sebesar 23 persen pada 2025, dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri atau 41 persen jika ada bantuan internasional.
Pada 2021, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tingkat bauran energi masih 13,5 persen. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) 2021-2030 disebutkan bahwa untuk mencapai bauran energi 23 persen pada 2025, akan ada tambahan pembangkit berbasis energi baru terbarukan sebesar 10,64 GW. Sementara itu, tambahan pembangkit berbasis EBT sampai 2030 sebesar 20,92 GW.
Sampai saat ini, Indonesia masih bertumpu pada pembangkit berbasis fosil, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batu bara, untuk menjadi pembangkit beban puncak (base-load). Pembangkit jenis ini diperlukan untuk menjamin tersedianya pasokan listrik dalam jumlah besar dan kontinyu. Dari berbagai jenis pembangkit EBT, pembangkit panas bumi menjadi salah satu yang bisa menggantikan peran PLTU sebagai pembangkit base-load.
Menurut data Kementerian ESDM, potensi panas bumi di Indonesia cukup melimpah, yakni sebesar 29.544 MW, sementara yang sudah beroperasi baru 2.276,9 MW atau 7,7 persen. Selain potensinya yang besar, kata Komaidi, pembangkit panas bumi juga memiliki Capacity Factor (CF) sampai 90 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan pembangkit EBT lain seperti pembangkit surya (PLTS) sekitar 18 persen dan pembangkit bayu (PLTB) sekitar 30 persen.
Persoalannya, kata Komaidi, harga jual listrik panas bumi masih mahal dan masa pembangunannya lama, yakni 7-10 tahun. Harga jual listrik panas bumi saat ini masih sekitar Rp1.191 per kWh, sementara harga jual listrik batu bara hanya Rp653,3 per kWh.
“Kondisi ini membuat kepentingan jangka pendek yang lebih mengemuka. Pemerintah tidak mudah menaikkan tarif listrik tapi juga tidak bisa membiarkan subsidi listrik di APBN membengkak,” katanya.
Pada 2022, subsidi listrik dalam APBN ditargetkan Rp56,5 triliun, tapi membengkak karena kenaikan harga minyak mentah. Badan Anggaran DPR RI sudah menyetujui penambahan subsidi listrik sebesar Rp3,1 triliun.
“Pilihannya hanya ada dua. Menaikkan harga BBM dan listrik agar subsidi tidak membengkak, atau menambah subsidi BBM dan Listrik agar harga listrik dan BBM tidak naik,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI, Kamis (19/5).
Pemerintah dan DPR sepakat memilih menaikkan subsidi.
Menurut Komaidi, kepentingan jangka pendek seperti itulah yang membuat pembangunan EBT tersendat-sendat, terutama pembangkit panas bumi. Hal ini terjadi karena PT PLN (Persero) memegang monopsoni (pembeli tunggal).
“PLN tentu saja akan memilih PLTU karena harganya yang murah, sehingga BPP (biaya pokok penyediaan listrik) bisa lebih rendah. Kalau dengan panas bumi, siapa yang akan menutup selisihnya agar BPP PLN tetap affordable?” katanya.
Apalagi, saat ini terjadi kelebihan pasokan listrik akibat penurunan ekonomi selama pandemi COVID-19.
Komaidi menjelaskan, dengan posisi seperti itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang memihak pada pengembangan EBT.
“Ini soal visi jangka panjang. Pembangunan EBT seperti panas bumi bisa melintasi 1-3 periode pemerintahan. Karena itu, pemerintah harus konsisten dengan semua perencanaan dan target, meskipun pemerintahannya berganti-ganti. Tanpa konsistensi sulit menjaga target itu tercapai,” katanya.
Salah satu langkah yang sudah tepat, menurut Komaidi, adalah kebijakan pengeboran eksplorasi oleh pemerintah (government drilling) karena akan mengurangi risiko pengembang yang sangat tinggi di masa-masa awal pembangunan pembangkit panas bumi. Pengembang mesti mengeluarkan biaya operasional sampai 7-10 tahun, sementara pendapatan baru muncul paling cepat pada tahun ke-8.
“Pengembang harus punya pendanaan sendiri yang kuat karena tak mudah mencari financing dari perbankan,” ujar Komaidi.
Dengan government drilling, risiko pengembang di awal masa pembangunan diambilalih pemerintah. Pengeboran eksplorasi yang sudah dilaksanakan pemerintah di Nage, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan di Cisolok Cisukarame, Jawa Barat. Sebagai gambaran, harga PLTP Dieng yang dioperasikan PT Geo Dipa Energi (Persero) bisa mencapai US$7-8 sen per kWh. Pengeboran wilayah kerja Dieng dilakukan Pertamina, Geo Dipa hanya membangun pembangkit dan mengoperasikannya. Government drilling mereplikasi model ini.
Namun, kata Komaidi, ada kebijakan lain yang perlu dilakukan pemerintah menyangkut pasar.
“Pemerintah harus mengubah pasar yang bersifat monopsoni menjadi pasar terbuka, sehingga pengembang bisa menjual listrik kepada siapa saja. Konsumen juga bisa membeli listrik kepada pengembang mana saja. Untuk itu, jaringan transmisi dan distribusi juga harus diubah menjadi open access seperti pada gas dan sistem kelistrikan di banyak negara. Pengembang tinggal membayar sewa kepada pemilik jaringan transmisi dan distribusi,” kata Komaidi.
Dengan model seperti itu, menurut Komaidi, harga yang terbentuk bisa lebih kompetitif. Dia mencontohkan Unilever. Sejak 1 Januari 2020, Unilever sudah membangun fasilitas pembangkit listrik tenaga surya di seluruh pabrik, kantor, fasilitas riset dan pengembangan, pusat data, gudang, dan pusat distribusi di 23 negara.
“Hal ini sulit dilakukan di Indonesia karena sistem yang ada mengharuskan Unilever menjual listrik ke PLN dan kemudian membelinya kembali dari PLN,” kata Komaidi.
Komaidi melihat Presidensi Indonesia dalam G20 pada 2022 bisa mendorong Pemerintah Indonesia mengubah sejumlah kebijakan agar target-target energi bersih bisa dicapai.
“Selama kita punya kebijakan energi bersih yang acceptable di pasar dan konsisten dilaksanakan, kita tidak perlu khawatir soal pendanaan. Trend keuangan dan investasi sudah semakin mengarah pada ekonomi hijau,” ujarnya.
Transisi Energi Berkelanjutan memang menjadi salah satu agenda utama dalam Presidensi Indonesia dalam G20 pada 2022.
Agenda Presidensi G20 tersebut sejalan dengan komitmen PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) untuk mengembangkan panas bumi dan memastikan implementasi prinsip Environment, Social, and Governance (ESG) menjadi bagian terintegrasi dari bisnis panas bumi PGE. Penerapan aspek-aspek ESG ini merupakan upaya dalam memberikan nilai tambah serta dukungan PGE pada program pemerintah terkait pemanfaatan energi baru terbarukan yang ramah lingkungan, khususnya panas bumi.
Komitmen PGE dalam pengembangan energi panas bumi dapat berkontribusi dalam mencapai target pembangunan berkelanjutan Goals ke-7 (energi bersih dan terjangkau), Goals ke-8 (pekerjaan yang layak dan pengembangan ekonomi), Goals ke-12 (konstruksi dan produksi yang bertanggungjawab), serta Goals ke-13 (penanganan perubahan iklim), pada SDGs (Sustainable Development Goals).(RA)
Komentar Terbaru