JAKARTA – Sebagai negara net importer, Indonesia dinilai sangat dirugikan dengan kenaikkan harga minyak dunia hingga mencapai US$105 per barrel
Kenaikan harga minyak di atas US$100 per barrel tentunya sangat memberatkan APBN.

“Semakin tinggi kenaikan harga minyak, beban APBN makin berat,” kata Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada, Jumat (4/3/2022)

Menurut Fahmy, beban APBN itu untuk memberikan kompensasi pada saat PT Pertamina (Persero) menjual BBM di bawah harga keekonomian. Kalau tidak ada kenaikkan harga BBM di dalam negeri beban APBN semakin berat.
“Hanya memang dilematis bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Lantaran kenaikan harga BBM berpontensi menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata dia, pada saat harga minyak dunia di atas US$100 per barrel, pemerintah perlu naikkan harga BBM secara selektif, yakni menaikkan harga Pertamax ke atas dan hapus Premium. “Namun Jangan naikkan harga Pertalite,” kata Fahmy.

Akhirnya, Pertamina pun menaikkan harga BBM Non-Subsidi, terdiri Pertamax Turbo, Pertamax Dex dan Dexlite. Kenaikan harga BBM selektif merupakan keputusan yang tepat dan cermat untuk mengurangi beban APBN, tanpa memicu inflasi dan memperburuk daya beli rakyat

Fahmy menekankan, kenaikan harga BBM selektif non subsidi yang terdiri dari Pertamax Turbo, Pertamax Dex dan Dexlite, tidak akan berpengaruh terhadap inflasi dan tidak menurunkan daya beli masyarakat. Alasannya, proporsi konsumen kecil dan Pertamax tidak digunakan tranportasi sehingga tidak secara langsung menaikkan biaya distribusi yang memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang memicu inflasi dan memperpuruk daya beli rakyat

“Pasalnya proporsi konsumen Pertamax Turbo, Pertamax Dex dan Dexlite, hanya 5%. Kalau pun berpengaruh terhadap inflasi dan daya beli, pengaruhnya kecil,” ujar Fahmy.(RA)