JAKARTA – Kesewenang-wenangan aparat penegak hukum terus terjadi dalam kasus bioremediasi. Kali ini, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melakukan penahanan terhadap terdakwa Bachtiar Abdul Fatah, padahal karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) itu dan penasehat hukumnya belum menyampaikan berkas banding dan belum ada penunjukan hakim yang menangani perkara.
Seperti diungkapkan penasehat hukum Bachtiar, Maqdir Ismail, kliennya baru divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 17 Oktober 2013. Pasca mendengarkan vonis Majelis Hakim, Bachtiar belum memasukkan berkas banding ke Pengadilan Tinggi DKI, karena masih menunggu salinan putusan dari Pengadilan Tipikor Jakarta.
Tapi anehnya, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI telah mengeluarkan surat penahanan terhadap Bachtiar, tertanggal 21 Oktober 2013, dimana saat itu berkas banding Bachtiar belum diajukan ke Pengadilan Tinggi. Lebih aneh lagi, disebutkan dalam surat penahanan itu bahwa penahanan dilakukan secara retroaktif (berlaku surut) selama 30 hari, yakni sejak 17 Oktober 2013 sampai 15 November 2013.
Atas kejanggalan tersebut, pada Rabu, 6 November 2013 lalu, Maqdir pun melapor dan mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung (MA). Menurutnya, tindakan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi itu telah jelas-jelas melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan, serta menunjukkan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.
Maqdir Ismail menyatakan bahwa paling tidak ada dua pelanggaran yang sangat serius dan fatal yang dilakukan oleh pengadilan yang menyebabkan hak-hak Bachtiar sebagai warga negara dilanggar.
Pertama, penahanan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang tersebut jelas melanggar pasal 7 Undang-Undang (UU) Kekuasaan Kehakiman, dan pasal 9 ayat (1) UU Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, serta pasal 34 UU tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Kedua, hak asasi Bachtiar untuk memperoleh jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur dan ditegaskan dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 menjadi dilanggar, dikesampingkan, dan dicampakkan begitu saja.
Maqdir menjelaskan, Penetapan Nomor: 190/Pen.Pid.Tpk/2013/PT.DKI untuk penahanan Bachtiar tertanggal 21 Oktober 2013 dan telah dilakukan penahanan selama tiga puluh hari namun penahanannya terhitung sejak 17 Oktober 2013 sampai dengan 15 Nopember 2013. “Ini retroaktif namanya,” jelas Maqdir.
Dalam penahanan tersebut, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI menggunakan dasar hukum pasal 27 ayat (1) jo Pasal 21 ayat (4) Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Maqdir, penggunaan dasar hukum ini tidak tepat dan bertentangan dengan hukum. Karena berdasarkan pasal ini penahanan hanya dapat dilakukan oleh Hakim Pengadilan Tinggi yang mengadili perkara.
“Secara nyata dan pasti perkara atas Bachtiar Abdul Fatah belum dikirim ke Pengadilan Tinggi. Bahkan Putusan Pengadilan Tipikor atas nama Bachtiar belum disampaikan kepada terdakwa maupun kami penasehat hukumnya, karena baru diputus 17 Oktober 2013. Sehingga tidak mungkin sudah ada Hakim Pengadilan Tinggi yang mengadili perkara, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (1) KUHAP,” ungkap Maqdir.
Wakil Ketua Pengadilan Offside
“Bagaimana mungkin sudah ada hakim yang ditunjuk Pengadilan Tinggi DKI menangani perkara Bachtiar Abdul Fatah pada 21 Oktober 2013. Kan pada tanggal itu berkas perkara banding atas nama Bachtiar belum kami masukkan ke Pengadilan Tinggi DKI. Salinan putusan dari Pengadilan Tipikor saja belum kami terima, putusannya juga baru 17 Oktober 2013,” tandasnya.
Kalau diibaratkan sepak bola, penetapan penahanan Bachtiar oleh Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI ini bisa disebut offside dan harus disemprit oleh wasit. Dan menurut Maqdir, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah melakukan pelanggaran hukum acara pidana yang sangat fatal, terkait dengan perampasan kemerdekaan terhadap Bachtiar.
“Kewenangan untuk melakukan penahanan sebagai Hakim yang mengadili Perkara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (1) KUHAP, telah digunakan oleh Wakil Ketua Pengadilan Tinggi seolah-olah telah ditunjuk sebagai Hakim Pemeriksa Perkara dan dapat mengeluarkan penetapan penahanan. Padahal seharusnya dengan belum ditunjuknya Hakim yang melakukan pemeriksaan terhadap perkara, maka seharusnya klien kami demi hukum dikeluarkan dari tahanan,” ujarnya.
Lebih lanjut Maqdir menuturkan, penahanan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada, atau menggunakan ketentuan yang tidak tepat, adalah penahanan yang tidak sah dan bertentangan dengan hukum. Penahanan yang dilakukan tidak sesuai dengan hukum tersebut, telah merampas kemerdekaan seorang warga negara Bachtiar Abdul Fatah.
“Maka menjadi tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan semua kegiatan yang merupakan tindak lanjut atau meneruskan suatu proses yang nyata-nyata dilakukan secara salah dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum,” jelas Maqdir lagi.
Berdasarkan hal-hal itu menurut Maqdir, pihaknya memohon kepada Ketua Mahkamah Agung RI, untuk membatalkan penetapan penahanan Bachtiar dan membebaskan serta mengeluarkan kliennya ini dari tahanan. “Ini semata-mata demi keadilan bagi klien kami dan tegaknya supremasi hukum di negara kita tercinta ini,” pungkasnya.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Astagfirullah…apa sih maunya Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta ini, sampai memainkan hukum sedemikian rupa? Insyaf dong, sebelum terbujur kaku dalam kubur….
Sabar… sabar, jangan ikut-ikutan menghakimi. Penjara di Indonesia masih banyak yang kosong, baik ruangan maupun raungannya. Berdasarkan komentar anda, sepertinya, kalau saudara Lukmanul sendiri yang menjadi/berada ditempat Jaksa dan/atau Hakimnya, perilakunya tidak jauh berbeda. he…he…he…he.