JAKARTA – Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membatalkan Putusan Badan Arbitrase Indonesia (BANI) tentang perjanjian pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Dieng dan Patuha berpotensi merugikan PT Geo Dipa Energy (Persero) sebagai BUMN panas bumi.
Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), mengatakan kasus perjanjian pengembangan PLTP Dieng dan Patuha telah menjalani berbagai sidang yang panjang dan melelahkan di Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung dan BANI yang menetapkan Geo Dipa sebagai pemenang.
“BUMN yang menyelenggarakan usaha menyangkut hajat hidup orang banyak sesuai konstitusi harus dilindungi dari berbagai upaya KKN,” ujar Marwan di Jakarta, Rabu (17/10).
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang dipimpin Florensasi Susana, Selasa (4/9), mengabulkan permintaan PT Bumigas Energi (Bumigas) dan membatalkan Putusan Badan Arbitrase Indonesia (BANI) Nomor 922/2017 pada 30 Mei 2018 tentang perjanjian pengembangan PLTP Dieng dan Patuha tanggal 1 Februari 2005.
Menurut Marwan, keputusan PN Jaksel berpotensi merugikan PT Geo Dipa Energi dan menghambat pengembangan PLTP untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Putusan PN Jakarta Selatan tersebut juga bertentangan dengan hukum dan fakta persidangan yang berlangsung sebelumnya.
Pemerintah saat ini menguasai 93,33% saham Geo Dipa. Sisanya, 6,67% saham dikuasai PT PLN (Persero).
Marwan mengatakan, berdasarkan kepemilikan saham Geo Dipa wajar jika pengelolaan PLTP Geo Dipa harus sesuai konstitusi, guna mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk itu, pemerintah dan DPR harus segera turun tangan menolong Geo Dipa dan menyelamatkan aset negara dari upaya perampokan oleh Bumigas dan oknum-oknum pejabat atau aparat negara yang berada di belakang Bumigas.
Penegak hukum (Polri dan KPK) juga diminta untuk segera mengusut tuntas dugaan tindak pidana yang telah dilakukan oleh manajemen Bumigas dan oknum-oknum di PN dan MA yang justru telah membatalkan beberapa Putusan BANI dan MA yang telah mengikat, guna memenangkan Bumigas dalam kasus yang telah menghambat pembangunan energi nasional ini.
“Jika pengelolaan tersebut tidak optimal, dihambat oleh oknum-oknum pengusaha dan penguasa, melanggar kaidah-kaidah hukum dan bisnis yang berlaku, serta berpotensi merugikan negara, maka rakyat perlu melakukan perlawanan dan tuntutan hukum secara berkelanjutan,” kata Marwan.
Geo Dipa Energi berkontrak dengan Bumigas untuk mengembangkan PLTP Dieng (Jawa Tengah) dan Patuha (Jawa Barat) sesuai kontrak No. KTR.001/GDE/11/2005 pada 1 Februari 2005. Namun, karena Bumigas gagal melakukan kewajiban kontrak, maka pelaksanaan proyek Dieng dan Patuha tersebut terbengkalai.
Geo Dipa kemudian meminta pembatalan perjanjian kepada BANI pada 26 November 2007. Permohonan Geo Dipa Energi tersebut dikabulkan, BANI kemudian mengeluarkan putusan pembatalan kontrak.
Sesuai program percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap kedua, Geo Dipa membangun sendiri PLTP Patuha Unit 1 (1 x 55 MW) dengan dukungan pinjaman dana dari PT Bank BNI Tbk. PLTP Patuha Unit 1 mulai beroperasi secara komersial pada September 2014, setelah tersambung dengan jaringan listrik PLN Jawa, Madura dan Bali.
Namun, saat pembangunan PLTP Patuha tersebut dimulai pada 2012, Bumigas kembali mengajukan permohonan pembatalan (kedua) putusan BANI. MA pun pada 24 Oktober 2012 membatalkan Putusan BANI 2007.
Geo Dipa kemudian mengajukan upaya hukum PK atas putusan kasasi dan PK atas Putusan PK kepada MA, atas saran dan pendampingan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAMDATUN) Kejaksaan Agung. Permohonan PK Geo Dipa Energi tersebut dinyatakan tidak dapat diterima pada 20 Februari 2014.
Bumigas juga mengajukan permintaan ganti rugi berupa right to develop atas Proyek Dieng dan Patuha (termasuk PLTP Patuha Unit 1 vanq telah beroperasi) dan Project Development dengan skema Build Operate Transfer (BOT). Pasalnya, jika permintaan ganti rugi dipenuhi, negara akan dirugikan. Potensi kerugian negara jika Geo Dipa menyerahkan PLTP Patuha Unit 1 kepada Bumigas mencapai Rp 2,4 triliun.(RA)
Komentar Terbaru