JAKARTA – Sebanyak 77,53 persen penduduk Indonesia menyatakan dukungan terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Hal ini terungkap dalam survei dilakukan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) pada periode Oktober 2016 – Desember 2016 dengan membagikan kuesioner kepada 4.000 responden di 34 provinsi.
Djarot Sulistio Wisnubroto, Kepala Batan, mengatakan pelaksanaan survei penerimaan masyarakat terhadap pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) nuklir secara nasional telah dimulai sejak 2011 dan hasilnya cenderung naik.
“Status PLTN saat ini masih menunggu keputusan politik. Tidak ada target khusus tahun ini tentang PLTN, hanya menjaga kemampuan SDM dan fokus pada reaktor riset,” kata Djarot kepada Dunia Energi.
Dia menguraikan perolehan hasil survei penerimaan masyarakat terhadap rencana pembangunan PLTN pada 2011 sebesar 49,5 persen, 2012 (52,9 persen), 2013 (64,1 persen), 2014 (72 persen), dan 2015 (75,3 persen).
Pelaksanaan survei 2016 berbeda dengan tahun sebelumnya, dimana tidak adanya sosialisasi sebelumnya yang dilakukan Batan secara khusus.
“Pada tahun sebelumnya, pelaksanaan survei diawali dengan adanya sosialisasi kemudian diukur persepsi masyarakat terhadap nuklir,” kata Djarot.
Menurut Djarot, dengan melihat hasil perolehan survei nasional dari tahun ke tahun menunjukkan jumlah penerimaan masyarakat terhadap pembangunan PLTN terus meningkat. Dengan demikian, masyarakat Indonesia sudah tidak mempermasalahkan kehadiran PLTN di Indonesia.
Tiga alasan masyarakat setuju dengan pembangunan PLTN, yaitu tidak adanya pemadaman listrik, ke depannya listrik menjadi murah, dan selanjutnya dapat menciptakan lapangan kerja.
Sedangkan, alasan utama bagi yang tidak setuju terhadap pembangunan PLTN antara lain, khawatir adanya kebocoran reaktor nuklir, pencemaran radioaktif yang ditimbulkan reaktor PLTN, dan limbah radioaktif.
Berdasarkan wilayahnya, masyarakat Sulawesi Utara merupakan daerah dengan tingkat penerimaan masyarakat terhadap PLTN tertinggi yaitu 98 persen dan Gorontalo adalah daerah dengan tingkat penerimaan terendah sebesar 46,7 persen.
“Ada dambaan dari masyarakat untuk mendapatkan listrik yang berkelanjutan, murah dan bisa membuka lapangan kerja, serta meningkatkan kesejahteraan mereka,” tandas Djarot.(RA)
Komentar Terbaru