JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) merupakan RUU inisiatif DPR. Sesuai Keputusan DPR Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022, RUU ini termasuk RUU prioritas, seperti tercantum Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022 melalui Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022.

“Dalam hal ini, dibanding energi baru, IRESS cenderung mendukung agar UU ini lebih fokus memuat norma terkait energi terbarukan,” kata Marwan Batubara IRESS, dalam diskusi bertema “Menyoal Penerapan Skema Power Wheeling dalam RUU EBET” di Jakarta, Kamis(1/8).

Dalam kesempatan yang sama Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI, berharal DPR dan Pemerintah bisa segera menghasilkan UU EBET yang sesuai konstitusi, kepentingan stakeholders energi/listrik dan pemenuhan kebutuhan energi bersih berkelanjutan ke depan.

UU EBET harus memuat ketentuan/norma energi, energi baru, energi terbarukan dan aspek-aspek yang terkait. Sehingga terbangun dan tersedia energi guna memenuhi demand secara efektif, efisien, andal, berkelanjutan, emisi karbon minimal, transisi energi berlangsung mulus, dan ketahanan energi nasional pun tercapai.

Sebagai informasi, pada tahun 2023 konsumsi listrik nasional adalah 285 TWh. PLN memproyeksikan konsumsi tersebut naik menjadi 468 TWh pada 2033. Dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN periode 2024 – 2033, PLN menargetkan 75% pembangkit listrik adalah berbasis EBT, dan sisanya 25% gas. Untuk itu dibutuhkan dana investasi sekitar US$ 150 miliar. Dengan kondisi demikian, dipahami bahwa upaya optimal perlu dilakukan Indonesia agar target tersebut dapat dicapai, termasuk menyelesaikan RUU EBET.

Komisi VII DPR bersama Kementerian ESDM telah menuntaskan pembahasan 574 daftar inventarisasi masalah (DIM) di dalam RUU EBET. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengatakan RUU EBET akan mengakomodir skema power wheeling dalam RUU EBET dan diharapkan tuntas tahun 2024. Menteri ESDM Arifin Tasrif menyampaikan skema power wheeling dapat dijalankan selama ada pihak yang mau membangun mekanisme tersebut dan memiliki pasar tersendiri, sepanjang tidak mengganggu sistem yang sudah ada.

Power wheeling merupakan mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara/PLN dengan memanfaatkan jaringan transmisi/distribusi PLN.

Menurut Marwan apabila skema power wheeling adalah salah satu cara meraih minat investor, maka harus tunduk pada prinsip-prinsip moral, berkeadilan bagi seluruh rakyat, bebas moral hazard, sesuai prinsip GCG, bebas bebas praktik pendekatan kekuasaan otoriter, bebas kepentingan oligarkis, serta tunduk kepada amanat konstitusi dan perintah UU.

Salah satu pelanggaran sangat prinsip adalah diabaikannya hak prinsip natural monopoli BUMN/PLN yang diamanatkan dan dijamin Pasal 33 UUD 1945. Sektor strategis dan menyangkut hidup orang banyak, dikuasai negara/BUMN untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selain itu, pelanggaran juga terbukti dari Putusan MK atas dua kali judicial review UU Kelistrikan (No.20/2002 dan No.30/2009 dangan Putusan MK No.1/2003 dan No.111/2015), yang dikabulkan oleh MK, namun tidak digubris atau malah diabaikan oleh pemerintah.

“Skema power wheeling akan mengurangi peran PLN, meliberalisasi sektor kelistrikan dan dikhawatirkan berdampak pada harga listrik,” kata Mulyanto.

Dampak dari pelanggaran-pelanggaran tersebut antara lain tidak optimalnya ketahanan energi nasional, tingginya tarif listrik bagi rakyat dan industri, besarnya beban operasi BUMN dan tingginya beban subsidi dan kompensasi listrik di APBN. Hal ini terjadi antara lain karena pelanggaran-pelanggran UU/peraturan terkait penyediaan listrik oleh Independent Power Producer (IPP), penyusunan dan penerapan RUPTL, skema power wheeling (sesuai PP No.14/2012 dan skema take or pay (TOP), dan lainnya.

Bisman Bachtiar, Direktur Eksekutif PUSHEP, mengatakan petentuan power wheeling dalam PP No.14/2012 telah melanggar Pasal 33 UUD, serta menyabot hak monopoli dan menggerogoti bisnis BUMN. PP ini bisa saja tetap berlaku. “Memperhatikan rencana pemerintah dan DPR yang demikian antusias mendorong penerapannya dalam RUU EBET, tampaknya status ketentuan skema power wheeling akan meningkat menjadi ketentuan UU,” ujarnya.

Pemerintah dan DPR harus menjamin prinsip-prinsip bernegara menjadi pegangan utama pembahasan RUU EBET. DPR dan pemerintah harus menjamin azas-azas keterbukaan, demokrasi dan partisipasi publik, serta berjalannya proses pembentukan (formil) UU EBT dan penetapan ketentuan (material) sesuai konstitusi dan UU PPP (UU No.12/2011 atau UU No.15/2019). Dalam hal ini publik/rakyat diminta untuk ikut berperan aktif.

“IRESS menuntut agar pembentukan UU EBET harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip bernegara dan kepentingan nasional tersebut,” ujar Marwan.(RA)