JAKARTA – Program pencampuran biodiesel dengan solar sebanyak 20% atau B20 yang telah dijalankan pemerintah sejak September 2018 secara penuh, ternyata masih bermasalah. Hal ini diungkapkan Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Jonan mengatakan mendapat informasi bahwa masih sering terjadi inkonsistensi dalam proses pencampuran biodiesel dengan solar. Ini yang harus dibenahi, terutama jika Indonesia akan melangkah pada program B30 atau campuran biodiesel sebanyak 30% yang rencananya akan dimulai pada tahun depan.
Menurut Jonan, pasokan menjadi kunci keberlangsungan program pencampuran biodiesel. Apabila pasokan biodiesel untuk bahan campuran biosolar masih dirasakan kurang, akan diusulkan kewajiban penyaluran untuk dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) layaknya batu bara.
“Jangan sampai kalau harga CPO internasional naik , suplai FAME-nya hilang. Mentalitasnya harus konsisten, tidak boleh hit and run.
Kalau hit and run, saya akan lapor presiden dan bilang untuk DMO seperti batu bara,” kata Jonan di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (13/6).
Jonan menegaskan pemerintah tidak akan segan-segan untuk bisa menerbitkan aturan DMO karena memiliki kepentingan untuk menekan impor minyak. Program pencampuran biodiesel dan solar menjadi salah satu andalan untuk bisa menekan impor tersebut.
“Pemerintah memiliki kepentingan untuk menjaga neraca perdagangan supaya impor minyak terkendali,” kata Jonan.
Pemerintah baru saja melakukan uji coba penggunaan B30 atau peningkatan dari dari program B20. Pada tahun ini uji coba diharapkan sudah bisa memberikan rekomendasi agar penerapan B30 lebih maksimal dibanding B20.
PT Pertamina (Persero) sebagai badan usaha yang melakukan pencampuran biodiesel dengan dengan solar terbesar menyatakan masih mendapatkan pasokan biodiesel yang sesuai dengan permintaan, sehingga produk biosolar yang dihasilkan juga sesuai dengan yang dipersyaratkan pemerintah.
Fariz Aziz, Vice President Supply and Distribution Pertamina, mengatakan dengan pengawasan ketat, perusahaan memastikan pasokan biodiesel terpenuhi.
Ada beberapa metode pencampuran dan saat ini Pertamina mengadopsi dua metode. “Ada inline blending. Di jalur pipa langsung blending. Dia masuk dalam satu jalur yang sama. Masuk komposisi sesuai dengan kebutuhan. Ada tank blanding. Ya mungkin dua itu,” kata Fariz.
Dia menjelaskan baik inline maupun tank blending, memiliki alat ukur yang memastikan jumlah biodiesel yang dipasok sesuai dengan permintaan.
“Kalau kayak di Plumpang inline blending itu kan pakai sistem mesin. Dan kami sudah set pakai FAME (biodiesel) masuk 20%. Ya langsung otomatis keblending mereka. Jadi, by sistem sudah ter-set,” kata Fariz.(RI)
Komentar Terbaru