JAKARTA – Penanganan perubahan iklim harus menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan nasional dan daerah pada pemerintahan mendatang. Perubahan iklim memberikan dampak sangat serius terhadap berbagai sektor, diantaranya kesehatan, pertanian, dan perekonomian, bahkan dapat menghancurkan semua kehidupan di muka bumi.
Selama ini Pemerintah Indonesia telah memiliki komitmen dan melakukan berbagai upaya untuk penanganan masalah perubahan iklim. Salah satu wujudnya adalah penanganan perubahan iklim sebagai salah satu prioritas dalam pembangunan nasional. Hal ini tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Sebagai upaya untuk mendorong penguatan kebijakan dalam pengendalian perubahan iklim, Yayasan Perspektif Baru (YPB) bekerja sama dengan Konrad Adenauer Stiftung (KAS) dan sejumlah perguruan tinggi menggelar Kelompok Diskusi Terfokus (FGD) di Kalimantan Barat dan Sumatera Utara.
FGD tersebut mengidentifikasi kendala dan tantangan dalam penanganan perubahan iklim di tingkat daerah, mendokumentasikan praktek terbaik yang telah dilakukan, serta merumuskan rekomendasi penanganan perubahan iklim untuk lima tahun mendatang. Hal ini agar penanganan perubahan Iklim dapat terus berkelanjutan.
Hasil dari FGD ini diolah dan dituangkan ke dalam sebuah Recommendation Paper, yang diharapkan dapat memperkaya perspektif berbagai pihak dalam merumuskan kebijakan publik untuk penanganan perubahan iklim pada lima tahun mendatang, termasuk untuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2025-2029.
Sebagai upaya sosialisasi hasil FGD dan Recommendation Paper, YPB dan KAS, bekerja sama dengan FISIP Universitas Tanjungpura dan FISIP Universitas Sumatera Utara, menyelenggarakan Seminar Nasional dengan tema “Perspektif Daerah: Rekomendasi Penanganan Perubahan Iklim untuk Pemerintah Mendatang.” Seminar ini berlangsung pada 15 November 2023 di Jakarta. Hadir sebagai pembicara adalah adalah Plt. Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan, Dekan FISIP Universitas Tanjungpura Herlan, Wakil Dekan FISIP Universitas Sumatera Utara Harmona Daulay, dan Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad. Sebagai pembicara, hadir Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, dan Laksmi Dhewanthi, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHk).
Ketua Yayasan Perspektif Baru Hayat Mansur mengatakan hingga 2023 laju perubahan iklim terus terjadi bahkan kondisi bumi makin mengkhawatirkan. kini dampak perubahan iklim telah dirasakan secara merata di seluruh daerah di Indonesia, baik perkotaan maupun pedesaan. Upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim akan sangat berat jika hanya ditanggulangi oleh pemerintah. Karena itu penting ada dukungan dan kontribusi semua sektor di luar negara atau pemerintah. “Dukungan dan kontribusi tersebut salah satunya kami wujudkan dalam bentuk pemberian pemikiran berupa saran dan rekomendasi untuk penanganan perubahan iklim,” kata Hayat Mansur.
Dwikorita Karnawati mengatakan mengatakan dalam pembukaan seminar mengatakan bahwa perubahan iklim merupakan tantangan terbesar yang dihadapi oleh umat manusia. Pada saat ini, laju pemanasan global sudah sekitar 1.2 derajat Celcius diatas periode pra-industri, dan tahun 2023 diwarnai dengan banyak pemecahan rekor temperatur di banyak lokasi di dunia, sehingga terdapat peluang signifikan tahun 2023 akan menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan iklim. Selain itu dengan perkembangan laju perubahan iklim seperti sekarang, terdapat peluang signifikan bahwa batas kenaikan 1.5 derajat Celcius yang disepakati dalam Paris Agreement akan dilewati pertama kalinya dalam beberapa tahun mendatang.
Oleh karena itu, umat manusia akan menghadapi dua tantangan utama pada pertengahan abad 21 yang akan datang yaitu tekanan pada sumber daya air pada banyak wilayah dunia yang dikenal sebagai global water hotspot. Dampak lebih lanjut dari kelangkaan air ini adalah pada ketahanan pangan global. Langkah antisipasi terbaik bagi Indonesia memastikan ketahanan air dan ketahanan pangan, agar Indonesia dapat berketahanan dan pembangunan dapat berlanjut.
Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan melalui rekaman iklim masa lalu melalui proxy-iklim dan catatan sejarah peradaban, banyak bukti yang menunjukkan bahwa kemajuan dan kemunduran/runtuhnya suatu peradaban juga dipengaruhi oleh pola-pola iklim jangka panjang. Namun demikian, pada masa lalu, manusia tidak dapat mengantisipasi perubahan iklim seperti kekeringan yang datang, sementara pada masa kini dimana kemajuan sains dan teknologi khususnya dalam bidang iklim sudah cukup maju, seharusnya dapat digunakan untuk upaya mitigasi dan adaptasi yang lebih efektif.
Lebih lanjut pada laju perubahan iklim yang kini terus terjadi, selain upaya mitigasi untuk mereduksi emisi Gas Rumah Kaca, upaya adaptasi yang berbasis data, sains dan layanan informasi iklim harus diperkuat. Tidak ada sektor kehidupan dan aktifitas manusia yang tidak terdampak oleh perubahan iklim, oleh karena itu upaya sistematis untuk adaptasi yang dilakukan oleh sektor-sektor, perlu dituangkan dalam kebijakan yang didukung oleh data, sains, dan layanan informasi iklim.
Herlan mengatakan perubahan iklim memang tidak bisa dihindari seiring dengan berbagai aktivitas manusia. Oleh karena itu, perlu ada upaya dari manusia itu sendiri untuk mengendalikan dan melakukan perbaikan. Upaya tersebut antara lain memberikan edukasi kepada generasi muda mengenai lingkungan dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, penegakan hukum pelestarian lingkungan hidup, menyusun kebijakan yang pro lingkungan serta keterlibatan semua pihak untuk menjaga lingkungan dengan menerapkan sustainable development dalam berbagai kegiatan pembangunan.
Harmona Daulay menekankan pentingnya sosialisasi yang intensif kepada masyarakat oleh pihak-pihak yang berwenang untuk mendorong gerakan sosial yang luas dalam meningkatkan kesadaran akan perubahan iklim. Beliau berpendapat bahwa isu-isu seperti pemilihan energi yang ramah lingkungan dan penyelesaian konflik lingkungan memerlukan penanganan yang serius. Menurutnya, desentralisasi dan alokasi dana untuk daerah dalam penanganan lingkungan harus menjadi prioritas untuk memfasilitasi koordinasi yang efektif di tingkat lokal, dengan mempertimbangkan aspek gender sebagai isu kesetaraan dan keadilan. Praktik-praktik positif yang telah dilakukan di tingkat lokal, seperti RAPS, TORA, desa sehat, desa tangguh, dan lainnya, yang berdampak pada konteks global, perlu ditingkatkan, dilestarikan, dan dipromosikan bersama masyarakat.
Chalid Muhammad mengatakan upaya simultan Indonesia Indonesia dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim seharusnya menjadi modal penting bagi delegasi Indonesia dalam memperjuangkan climate justice di tingkat global. Negara-negara dengan emisi paling bersejarah harus menunjukkan tanggung jawab yang lebih besar dan secara sungguh-sungguh menjalankan kewajiban mereka dalam mengatasi perubahan iklim.
Komentar Terbaru