JAKARTA – Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang meski arah strategi transisi energi Indonesia semakin jelas, namun laju transisi energi perlu dipercepat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) serta sejalan dengan jalur Persetujuan Paris untuk menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Hanya saja, masih ada beberapa strategi yang dirasa masih tumpang tindih misalnya seperti pemanfaatan Dimethyl Ether (DME), jargas dan kompor induksi untuk menggantikan pemenuhan energi rumah tangga yang seharusnya bisa disusun peta jalan yang lebih fokus.
Pada Peta Jalan Transisi Energi 2021-2030, pemerintah menitikberatkan pada pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan (PLT EBT) yang mencapai 20,9 GW, sementara PLTS atap ditargetkan sebesar 3,6 GW. Pembangunan PLTS akan masif pada tahun 2031-2050 dengan jumlah total sebesar 279,2 GW.
Berdasarkan kajian IESR berjudul “Dekarbonisasi Menyeluruh Sistem Energi Indonesia”, pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan justru harus dikebut pada jangka waktu 2021-2030 untuk mencapai target bauran energi terbarukan, dan mencapai puncak emisi di sektor kelistrikan sebelum 2030. Selain itu, setidaknya perlu peningkatan 14 kali lipat dari jumlah kapasitas energi terbarukan di tahun 2020, dengan sekitar 117 GW berasal dari PLTS dan 23 GW dari pembangkit energi terbarukan lainnya.
Laporan realisasi kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) oleh pemerintah hingga tahun 2021 mencapai 11.152 MW. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, berpendapat bahwa target penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan selalu di bawah target pemerintah sejak tahun 2019 dan tidak on-track dengan target bauran energi terbarukan yang mencapai 24 GW pada 2025.
“Penyebab rendahnya penambahan pembangkit energi terbarukan bersifat struktural, antara lain Permen ESDM No. 50/2017 yang membuat proyek pembangkit energi terbarukan tidak bankable, pengadaan pembangkit energi terbarukan (ET) yang tidak dilakukan secara berkala dan terjadwal oleh PLN, minimnya dukungan pembiayaan domestik yang kompetitif, serta keterlambatan realisasi proyek karena pandemi,” kata Fabby Tumiwa, Selasa(18/1).
Menyoroti target investasi sektor energi baru terbarukan di tahun 2022, pemerintah mematok masuknya investasi sebesar US$3,9 miliar, naik 2,6 kali dari pencapaian investasi sebelumnya sebesar US$1,51 miliar pada 2021. Menurut Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi IESR, mengatakan meskipun target meningkat hampir tiga kali lipat, jumlah tersebut tergolong kecil untuk mendanai upaya dekarbonisasi sistem energi di Indonesia.
“Berdasarkan kajian Indonesia Energy Transition Outlook 2022, investasi energi terbarukan untuk sektor ketenagalistrikan saja membutuhkan nilai sebesar US$11,1 miliar per tahunnya selama satu dekade ke depan. Beberapa kebijakan dan regulasi energi terbarukan yang seharusnya dirilis tahun lalu, perlu segera difinalkan untuk meningkatkan kepercayaan investor dan iklim investasi energi terbarukan. Investasi energi terbarukan di luar RUPTL PLN, seperti PLTS atap juga perlu didukung penuh agar bisa menarik investasi dari awal tahun ini,” kata Deon.
Tidak hanya itu, strategi pemerintah untuk tetap mempertahankan subsidi energi fosil justru akan semakin memperlambat laju transisi energi di Indonesia. Selain menambah beban negara, hal tersebut akan membuat Indonesia lebih mudah terjebak pada krisis energi fosil.
“Berkaca dari krisis energi batubara awal tahun ini, terlihat bahwa penggunaan energi fosil seperti batubara dan dukungan subsidi (berupa DMO) juga tidak menjamin ketahanan energi negara, namun justru menciptakan distorsi pada harga pembangkitan listrik. Harga pembangkitan listrik dari PLTU batubara terlihat lebih murah dari seharusnya dan tidak menciptakan level playing field bagi energi terbarukan,”ungkap Deon.
Strategi pemerintah untuk mempercepat upaya transisi energi nasional justru terkendala pada belum disetujuinya Rancangan Perpres Pembelian Energi Terbarukan oleh Menteri Keuangan. Deon berpendapat bahwa perlu ada koordinasi yang strategis antar kementerian untuk mendukung percepatan pencapaian target netral karbon sehingga dukungan regulasi yang dianggap kritikal seharusnya dapat segera terbit dan berjalan efektif.
“Selain dari penerbitan regulasi, implementasi yang efektif menjadi penting, namun ini malah sebaliknya. Sebagai contoh, Permen 26/2021 tentang PLTS atap yang seharusnya dapat mendukung pencapaian target PLTS atap 900 MW di tahun 2022 sesuai target KESDM, namun awal tahun ini malah tertahan penerapannya,” kata Deon.
Tidak hanya dari segi regulasi, IESR melihat sinergitas target netral karbon antar kementerian juga merupakan hal penting. Mengulas target dan realisasi kendaraan listrik di tahun 2022, Indonesia Energy Transition Outlook 2022 menemukan dua target yang berbeda di dua kementerian. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berencana memproduksi 750.000 unit LCEV (low carbon emission vehicle), yang terdiri dari mobil listrik dan 2,45 juta unit sepeda motor listrik pada 2030. Sementara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit sepeda motor listrik pada tahun 2030. Target dan peta jalan yang berbeda dalam pengembangan kendaraan listrik akan menyulitkan dalam melihat upaya yang koheren dan konsisten dari pemerintah untuk meningkatkan penetrasi kendaraan listrik di dalam negeri.
“Peta jalan kendaraan listrik nasional yang terintegrasi dan dirancang dengan baik harus dibuat. Keselarasan antara peta jalan electric vehicle (EV) Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM misalnya, selain meningkatkan keyakinan pemain EV, juga dapat memaksimalkan manfaat ekonomi bagi Indonesia berupa value chain industri yang terbentuk dari proses transisi dari kendaraan internal combustion engine (ICE) ke EV tersebut,” ujar Deon.(RA)
Komentar Terbaru