JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana kembali merevisi regulasi penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Saat ini regulasi yang memayungi penggunaan PLTS Atap adalah Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang penggunaan sistem PLTS Atap oleh pelanggan PT PLN (Persero) serta Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2019 tentang kapasitas pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri berdasar izin operasi, dan Permen ESDM Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan kedua Permen ESDM 49/2019 tentang biaya kapasitas untuk pelanggan industri.
Dengan adanya perubahan regulasi yang ditargetkan bisa rampung pada kuartal I tahun ini diharapkan ada peningkatan signifikan penggunaan PLTS Atap.
Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan meskipun tidak masuk dalam jaringan PLN, namun porsi PLTS Atap cukup penting dalam target bauran EBT 23% pada 2025.
Dengan perbaikan regulasi tahun ini target PLTS Atap terpasang mencapai 70 Megawatt (MW) jauh meningkat dari target tahun lalu yang hanya 13 MW
“PLTS roofstop (atap) kami targetkan 70 MW. Tahun lalu target 13 MW. kenapa kami yakin bisa? Karena ada perbaikan regulasi oleh Kementerian ESDM, sehingga orang lebih tertarik,” kata Dadan dalam konferensi pers virtual EBT, Kamis (14/1).
Bentuk perubahan aturan yang akan disasar pemerintah nantinya adalah pemilik PLTS Ata bisa mendapatkan jatah lebih besar dari daya yang dihasilkan. Meski tidak masuk ke jaringan PLN, para pemilik PLTS bisa mengirimkan listrik yang dihasilkan ke PLN. Masalahnya dengan aturan yang ada sekarang tidak banyak daya yang bisa dinikmati pemilik PLTS. Hal itu yang akan diperbaiki dalam aturan baru.
“Kalau sekarang kami kirim 100 kWh ke PLN, kami bisa pakai 65%-nya. Sekarang kami sedang bahas dengan PLN bisa naik berapa. Kalau bisa ambil lebih banyak itu lebih menarik,” ungkap Dadan.
PLTS Atap juga diyakini bisa jadi andalan baru untuk mendongkrak bauran EBT, apalagi dari sisi penyiapan lahan PLTS tidak terlalu banyak membutuhkan lahan. Industri bisa langsung mengaplikasikan PLTS Atap dilingkungan mereka.
“Misalnya di Coca-Cola sudah terbangun itu palinga besar untuk industri 7,2 MW dan mereka punya 2-3 pabrik yang ukuran sama. waktu kami kunjung kesana kalau bisa diperbaiki regulasinya akan pasang lebih banyak lagi,” kata Dadan.
Nantinya aturan juga akan memperhatikan kepentingan PLN. Pasalnya ada juga yang menilai dengan banyaknya PLTS Atap maka berdampak pada penyerapan listrik yang diproduksi PLN .
“Karena PLN akan sediakan lsitrik karena dngan rooftop agar tidak ada kerugian di PLN sedang disusun sedang kita perbaiki,” tegas Dadan.
Sejak diterbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM yang mengatur pemanfaatan sistem PLTS Atap pada Desember 2018, pelanggan PLN yang memasang sambungan baru tercatat mencapai 2.566 dengan total kapasitas terpasang mencapai 18,19 megawatt peak (MWp).(RI)
Cukup menarik rubrik EBT, khususnya peningkatan penerapan pemakaian PLTS di dibeberapa sektor industri seperti keramik , makanan dan minuman, warehouse, dll untuk pengganti energi fosil, hanya saja perlu support dari pemerintah agar tidak malah merugikan pengusaha dibidang industri pengolahan .