JAKARTA – Pemerintah akan menjadikan Harga Patokan Mineral (HPM) sebagai acuan bagi perusahaan produsen nikel dan perusahaan pemilik fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter dalam melakukan transaksi jual beli nikel.
Yunus Saefulhak, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Ditjen Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan selama ini HPM hanya dijadikan sebagai patokan dalam menetapkan royalti yang harus dibayarkan pengusaha kepada pemerintah.
Dia mengakui belum ada aturan baku yang mengatur harga transaksi jual beli nikel di dalam negeri. Adapun penggunaan nilai HPM sendiri hanya disarankan bukan merupakan suatu kewajiban.
HPM sendiri mengacu pada nilai Harga Mineral Acuan (HMA) yang diupdate oleh Kementerian ESDM setiap bulan.
“Kita harus ada HPM, hanya memang belum tegas harus dipatuhi. Setiap bulan diupdate terus HMA akan mengkoreksi HPM, HPM jadi floor price, ini kan dulu patokan royalti,” kata Yunus ditemui di kantor Ditjen Minerba, Jakarta, Kamis (23/1).
Menurut Yunus, nantinya mekanisme penggunaan HPM akan berbeda dengan penggunaan HPM selama ini. Para produsen nikel dan pengusaha smelter nantinya akan memiliki batasan harga sehingga tidak akan merugikan para pihak.
“Ke depan HPM jadi harga transaksional, dibuat bemper sampai ke bawah dari HPM berapa sehingga kalau dijual terlalu dibawah HPM tidak boleh. Jadi jualan sesuai HPM,” katanya.
Yunus mengatakan hal Ini harus dilakukan untuk tetap bisa menghidupkan smelter dengan tetap bisa menyerap nikel ore untuk diolah, serta tidak melupakan perusahaan produsen nikel.
“Kita juga harus menghidupkan smelter, smelter harus ada bahan baku murah. Tapi murahnya berapa jangan dibawah harga pokok produksin tambang,” ujar Yunus.
Untuk memastikan agar aturan main baru ini berjalan pemerintah kata Yunus telah menyiapkan sanksi yang akan dikenakan baik bagi para produsen nikel ataupun perusahaan pemilik pabrik smelter. “Nanti ada sanksi jika tidak ikuti aturan, sanksi buat keduanya, smelter dan tambang (produsen),” tegas Yunus.
Harga nikel dalam negeri memang terus menjadi polemik sehingga produsen nikel lebih memilih untuk menjual nikel kadar rendah ke luar negeri karena harganya lebih tinggi ketimbang harga nikel domestik.
Salah satu penyebab rendahnya harga bijih nikel yang dibeli adalah dalam mekanisme penentuan kadar nikel. Berdasarkan rekomendasi pemerintah dalam surat edaran Kementerian ESDM No 05.E/30/DJB/2016 tentang surveyor dalam rangka pelaksanaan kegiatan penjualan atau pengapalan mineral dan batu bara ada lima perusahaan yang berhak menentukan kadar nikel sesuai dengan surat edaran menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service dan Anindya (Citra Buana). Hasil penilaian ini akan menjadi basis bagi pembayaran royalti pelaku usaha kepada negara.
Namun pembeli dalam hal ini perusahaan smelter justru menunjuk Intertek perusahaan diluar yang telah ditunjuk oleh pemerintah untuk melakukan pengujian kadar nikel
Hasilnya terjadi perbedaan jauh dari hasil uji kadar logam nikel antara hasil yang dilakukan oleh surveyor direkomendasikan pemerintah saat FOB dengan surveyor yang ditunjuk oleh pembeli bijih nikel pada saat CIF (ketika barang sampai di konsumen) berbeda sangat jauh.(RI)
Komentar Terbaru