JAKARTA– Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) harus menjembatani ketidaksepakatan soal revisi harga jual uap/tarif listrik panas bumi dari PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) ke PT PLN (Persero), menurut pengamat energi. Salah satu klausul yang bisa diterapkan adalah pemerintah menanggung selisih harga jual yang tidak disepakati oleh PGE dan PLN.
Ali Ahmudi, peneliti energi yang juga mahasiswa program doktor yang sedang melakukan penelitian mengenai permodelan listrik di beberapa negara, mengatakan PGE sebagai entitas bisnis wajar mengenakan tarif listrik sesuai harga pokok produksi plus profit. Di sisi lain, PLN sebagai kepanjangan tangan pemerintah sebagai penyedia energi listrik nasional.
Namun sebagai entitas bisnis, PLN harus berpikir efisiensi untuk mendapatkan listrik yang murah untuk dapat harga listrik murah.
“Dari sisi bisnis PGE harus untung, tapiPLN juga harus untung atau tidak dirugikan. Di sini tidak ada pertemuan dari sisi harga. Karena itu, pemerintah harus mengarahkan bagaimana subsidi,” ujar Ali.
PGE dan PLN sebelumnya meneken interim agreement yang akan berakhir pada 31 Desember 2015. Interim agreement meliputi perjanjian jual beli uap (PJBU) dan Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) delapan unit pembangkit yang dikelola PGE, yaitu tujuh PJBU unit di Kamojang, Jawa Barat dan Lahendong, Sulawesi Utara dan satu PJBL di Kamojang.
Berdasarkan PJBU/PJBL, untuk Kamojang interim agreement US$ 6,2 sen per kilowatthour. Sedangkan usulan PGE US$ 7,43 sen per kilowatthour dan usulan PLN US$ 3,3 sen per kwh. Sedangkan untuk Kamojang yang dikelola pembangkitnya oleh PGE, interim agreement US$ 9,7 sen per kwh usulan PGE US$ 10,11 sen per KWH dan PLN US$ 5,82 sen per kwh. Sementara itu untuk Lahendong, interim agreemnt sebesar US$ 6,2 sen per Kwh dengan usulan PGE US$ 11,11 sen per KWH dan permintaan PLN bergerak mulai dari level US$ 2,69 sen hingga US$ 5,34 sen per KWh.
Namun hingga berita ini diturunkan, PGE dan PLN belum mencapai kesepakatan penyesuaian harga jual uap/listrik. Negosiasi terakhir PGE dengan PLN terjadi pada 13 November 2015. PLN tak bersedia memperpanjang interim agreement. Dengan demikian, PJBU Kamojang yang dikelola PLN akan berakhir, PJBU Lahendong dan PJBL Kamojang yang dikelola PGE kembali ke kontrak awal PJBU/PJBL.
Menurut Ali Ahmudi, pemerintah tak bisa mendiamkan persoalan ini karena dua BUMN itu adalah milik pemerintah sekaligus juga entitas bisnis.. Peemerintah mesti memberi solusi apakah dengan menerbitkan kebijakan yang tidak merugikan salah satu pihak atau diformalkan dalam bentuk feed in tariff. “Tanpa itu semua itu sangat sulit. Ini tidak hanya geothermal tapi juga EBT lain,” katanya.
Ali menyarankan agar PGE diberikan kewanangan untuk dapat menjual uap atau listrik ke pihak lain Apabila PGE dipaksa hanya menjual uap atau listrik ke PLN sementara PLN tak bisa memberikan harga pasar yang lazim, menurut Ali, itu hanya akan merugikan PGE sebagai entitas bisnis. “Bisa saja misalnya, ada kuota dari PGE untuk PLN, tapi ada proporsi untuk mereka jual juga ke swasta,” katanya.
Fabby Tumiwa, pengamat listrik, mengatakan dari sisi harga sekarang ini sudah ada dua mekanisme, yakni secara bisnis (B to B) dan ceiling prices. Sekarang tinggal bagaimana perusahaan melakukan negosiasi dengan PLN untuk menentukan harga karena yang paling utama adalah harga tersebut masuk dalam kategori harga ekonomis dengan mempertimbangkan beberapa aspek seperti pengembalian investasi dan juga margin bagi perusahaan. Jika itu tersebut terpenuhi, sebenarnya tidak lagi menjadi masalah. “PLN dan PGE silakan secara terbuka melakukan renegosiasi harga sehingga tidak saling merugikan,” katanya.
Yunus Saifulhak, Direktur Panas Bumi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, sebelumnya menyatakan proses revisi harga panas bumi bagi PGE berlangsung terlalu lama. Revisi tidak bisa dengan mudah dilakukan lantaran ada beberapa pihak yang khawatir untuk mengambil keputusan. (DR/RA)
Komentar Terbaru