JAKARTA – Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menyampaikan keprihatinan mendalam atas maraknya aktivitas penambangan tanpa izin (PETI) yang terjadi secara massif, termasuk Kabupaten Katingan dan Kabupaten Gunung Masa, Kalimantan Tengah. Berdasarkan hasil citra satelit, Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan kurang lebih 41 ribu hektare lahan di Kabupaten Katingan yang rusak akibat aktivitas penambangan illegal.

Kegiatan ilegal ini dinilai telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat serius, merugikan keuangan negara, serta mengancam keselamatan masyarakat dan keberlanjutan sumber daya alam nasional.

Eva Djauhari, Ketua Bidang Advokasi dan Hukum Perhapi, mengatakan operasi PETI di wilayah tersebut tidak hanya merusak ekosistem dan sungai, tetapi juga menjadi ancaman nyata terhadap tata kelola pertambangan yang berkelanjutan. “Kami mendesak pemerintah pusat maupun daerah untuk segera mengambil langkah nyata dalam bentuk penghentian, penertiban, serta penyidikan menyeluruh atas kejahatan lingkungan ini,” ujar Eva, Senin (14/4).

Perhapi mendorong beberapa langkah konkrit terkait PETI; Pertama, penghentian langsung seluruh aktivitas PETI termasuk di Kabupaten Katingan dan Gunung Mas; Kedua, penertiban terpadu dan berkelanjutan oleh aparat penegak hukum, Kementerian ESDM, KLH, dan pemerintah daerah. Dan ketiga, penyelidikan dan penegakan hukum terhadap aktor-aktor utama di balik aktivitas ini.

Perhapi menilai aktivitas PETI merupakan tindak pidana serius yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya Pasal 158 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin resmi dapat dikenakan pidana penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.

Kemudian di pasal 161 dari undang-undang yang sama juga memberikan sanksi bagi pihak yang membantu atau memfasilitasi aktivitas ilegal tersebut. Selain itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup turut memberikan dasar hukum kuat dalam menindak pelaku perusakan lingkungan akibat aktivitas PETI.

Eva menegaskan landasan hukum yang ada sudah sangat jelas dan tegas. “Pembiaran terhadap PETI tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mencederai konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945, yang mengamanatkan bahwa kekayaan alam harus dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” kata dia.

Perhapi juga meminta pemerintah untuk menunjukkan komitmen nyata dalam penegakan hukum dan perlindungan lingkungan hidup. Masalah PETI tidak boleh lagi dipandang sebagai isu teknis semata, melainkan sebagai bentuk kejahatan terorganisir yang membutuhkan respons hukum dan politik yang kuat dari negara. “Jika sekarang pemerintah membutuhkan tambahan pendapatan negara, maka penertiban PETI bisa menjadi solusi apalagi saat ini harga emas sedang melambung,” kata Eva.(AT)