JAKARTA – Pemerintah diminta lebih responsif dalam menghadapi aktivitas illegal drilling dan illegal tapping yang masih terus terjadi. Salah satu caranya adalah dengan memperkuat penegakan hukum serta mengaktifkan kembali dan memaksimalkan kinerja satuan tugas (satgas) khusus.

Ali Ahmudi, Direktur Eksekutif Center For Energy Security Studies (CESS), menyatakan tidak hanya berbahaya dan mengancam bagi lingkungan, aktivitas illegal drilling dan illegal tapping merupakan pelanggaran hukum dan turut menghambat target lifting 1 juta barel oil per day (bopd).

Menurut Ali, pengoperasian sumur minyak ilegal di Indonesia memberikan efek berganda (multiplier effect) bagi negara, terutama pada target lifting minyak 1 juta barel per hari.

Illegal drilling maupun illegal tapping turut berpengaruh terhadap target lifting 1 juta bopd. Karena jika tidak segera diselesaikan, akan semakin menggila dan berefek domino ke wilayah lainnya,” ujar Ali, Selasa (21/5).

Ali menilai, dengan terus berlangsungnya aktivitas maka sangat wajar jika pemerintah mengaktifkan kembali dan memaksimalkan kinerja satuan tugas (satgas) illegal drilling dan illegal tapping.

“Selain satgas bentukan pemerintah yang dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas, perusahaan pengelola juga harus meningkatkan standar keamanan dan pengamanan wilayah kerjanya,” ungkap dia.

Bisman Bachtiar,  Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), menuturkan bahwa dampak utama dari aktivitas lifting pada sumur ilegal yakni berkurangnya pendapatan negara hingga gambaran buruk terhadap industri migas nasional.

Illegal drilling menyebabkan kerugian negara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketika ada kecelakaan, maka SKK Migas dan KKKS akan diminta oleh instansi terkait untuk membantu melakukan penanganan, yang itu tentu saja akan membutuhkan biaya  dari KKKS, akibatnya biaya operasional KKKS akan bertambah yang pada gilirannya akan mengurangi penerimaan negara, karena biaya yang telah dikeluarkan oleh KKKS untuk melakukan penanganan kecelakaan karena illegal drilling akan ditagihkan ke negara melalui skema cost recovery.

Menurut Bisman, risiko kebocoran lifting pada aktivitas illegal drilling dan illegal tapping sangat tinggi seperti yang banyak terjadi di wilayah Sumatera Selatan (Sumsel). “Illegal drilling dan illegal tapping merupakan tindak pidana, berisiko tinggi dan juga merusak lingkungan hidup. Hal ini karena lemahnya penegakan hukum. Selain itu masalah sosial di sekitar lokasi, masyarakat merasa tidak dapat menikmati potensi sumber daya alam yang ada di daerahnya,” kata Bisman.

Praktik illegal drilling dan tapping seakan makin tidak tersentuh. Terbaru, sebanyak tiga sumur minyak ilegal di Keluang, Musi Banyuasin, Sumsel meledak dan terbakar hebat selama dua hari. Insiden itu terjadi di sebuah kebun Karet di Desa Tanjung Dalam, Minggu 12 Mei 2024.

Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumsel memang dikenal sebagai wilayah yang banyak terjadi illegal drilling. Banyaknya sumur-sumur minyak ilegal di wilayah tersebut kerap kali meresahkan warga sekitar sekaligus mengganggu kegiatan operasional hulu migas di dalam negeri.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2021 saja tercatat sekitar 8.000 sumur ilegal di Indonesia dan menghasilkan minyak kurang lebih sebanyak 2.500 – 10.000 bopd. Angka ini diperkirakan terus meningkat tiap tahunnya dan ikut mengancam sektor hulu migas nasional.(RI)