JAKARTA – Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak Presiden Joko Widodo dan menteri sektoral terkait untuk segera memperkuat komitmen politiknya untuk melakukan transisi energi, dimulai dengan sektor kelistrikan.
Komitmen transisi energi diwujudkan dengan akselerasi pengembangan energi terbarukan dan peningkatan ambisi dari target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang selaras dengan target dan kerangka waktu kesepakatan Paris menuju net-zero emission pada pertengahan abad ini.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, mengatakan komitmen pemerintah bisa diwujudkan dalam penguatan ekosistem untuk mendukung transisi energi, termasuk di antaranya meningkatkan daya tarik untuk mendorong investasi proyek pembangkit listrik energi terbarukan sebesar US$3-5 miliar per tahun hingga 2025.
“Selain itu, melakukan moratorium pembangunan PLTU batu bara dan mempercepat penutupan secara berkala PLTU batu bara di bawah umur 20 tahun. Serta pengembangan kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan,” ungkap Fabby, Senin (25/1).
Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah mempunyai target 23% bauran energi terbarukan pada 2025. Analisa IESR menyebutkan, untuk mencapai target tersebut, Indonesia harus menambah kapasitas energi terbarukan setiap tahun sekitar 2 hingga 3 Gigawatt (GW) hingga 2025.
IESR memprediksi penambahan kapasitas baru hanya sekitar 400-500 Megawatt (MW) tahun ini, terutama yang berasal dari proyek panas bumi dan pembangkit listrik tenaga air. Pemerintah patut mempertimbangkan pengembangan energi terbarukan yang juga berpotensi besar seperti PLTS
baik secara industri maupun rumah tangga.
Deon Arinaldo, penulis utama dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2021, mengatakan hasil asesmen pada Kerangka Kesiapan Transisi (Transition Readiness Framework) yang dikembangkan dan diperkenalkan IESR menunjukkan secara umum Indonesia masih mempunyai pekerjaan rumah yang besar untuk mendorong proses transisi energi.
Pada kerangka kesiapan transisi tersebut, IESR telah mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam empat dimensi utama, yaitu dimensi politik dan regulasi, investasi dan pendanaan, tekno ekonomik, dan sosial.
“Kerangka tersebut akan dapat membantu melacak kemajuan Indonesia dalam mengatasi tantangan transisi energi Indonesia dari tahun ke tahun,” ujar Deon.
Deon mengatakankan bahwa kerangka kesiapan transisi IESR dibangun dengan mengadaptasikan beberapa kerangka pengukuran transisi energi global dan juga disesuaikan dengan tantangan transisi energi yang unik ada di Indonesia. Dalam melakukan asesmen kerangka tersebut, IESR melakukan analisis serta wawancara dan survei kepada berbagai pemangku kepentingan di sektor ketenagalistrikan sehingga dapat merefleksikan progres transisi energi Indonesia secara lebih inklusif.
“Pemerintah dapat menggunakan kerangka kesiapan transisi sebagai alat bantu dalam mengidentifikasi isu-isu yang dihadapi selama ini sehingga dapat memfokuskan upaya dalam mengakselerasi proses transisi energi Indonesia,” kata Deon.
IETO 2021 sendiri merupakan transformasi dari laporan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) yang telah secara rutin IESR hasilkan untuk memantau perkembangan energi bersih.
Laporan IETO 2021 tidak hanya fokus menganalisa perkembangan energi bersih, namun juga mulai menyoroti dinamika dan penerapan kebijakan pemerintah di energi fosil dalam memberikan gambaran yang jelas sejauh mana Indonesia berjalan pada jalur transisi energi yang kini semakin progresif tidak hanya di dunia, tetapi juga di Asia Tenggara.
“Rebranding ICEO menjadi IETO dilakukan dalam rangka menegaskan dan merefleksikan misi IESR dalam mendukung akselerasi pembangunan energi bersih dan mengurangi porsi energi fosil di tanah air dalam kerangka transisi energi,” tandas Fabby.(RA)
Komentar Terbaru