JAKARTA – Setelah hampir tidak ada perkembangan selama hampir satu tahun, dipenghujung 2018 akhirnya proyek kilang PT Pertamina (Persero) kembali berjalan. Kontrak Engineering Procurement and Construction (EPC) Kilang Balikpapan yang telah ditandatangani pekan ini melibatkan konsorsium SK Engineering & Construction Co.Ltd, sebagai pemimpin konsorsium. Serta Hyundai Engineering Co.Ltd. , PT. Rekayasa Industri dan PT PP (Persero) Tbk sebagai anggota. Selain itu, Pertamina juga telah menandatangani framework agreement pembangunan Kilang Bontang dengan Overseas Oil & Gas (OOG), perusahaan asal Oman.
Namun secara keseluruhan semua proyek kilang diperkirakan akan molor dari target awal.
Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), mengatakan ada campur tangan pemerintah dalam kemunduran proyek kilang Pertamina. Untuk Kilang Cilacap misalnya, Pertamina memutuskan mengulur proyek kilang tersebut lantaran kesulitan keuangan.
Pasalnya, jika dilaksanakan sesuai jadwal, Pertamina harus menyetorkan dana sesuai porsi saham. Padahal keuangan Pertamina sedang bermasalah akibat kebijakan harga BBM jenis Premium dan Solar yang terus dipertahankan sejak April 2016, di tengah harga minyak dunia yang kembali naik. “Maka, mundurlah pembangunan RDMP Cilacap,” ujar Marwan, Kamis (13/12).
Berdasarkan rencana awal, target selesai revitalisasi dan pembangunan kilang adalah: Balikpapan 2019, Balongan 2020, Cilacap 2021, Dumai 2023, Bontang 2024 dan Tuban 2021. Belakangan, karena berbagai kendala dan perkembangan dalam industri energi, termasuk yang terkait mobil listrik, target penyelesaian kilang menjadi: Balikpapan 2021, Balongan 2025, Cilacap 2023, Dumai dan PLaju 2023, Bontang 2025 dan Tuban 2024. Bahkan manajemen Pertamina baru-baru ini mengatakan pembangunan proyek kilang baru bisa rampung secara keseluruhan pada 2026.
Menurut Marwan, biaya pembangunan kilang BBM sangat besar, sementara margin keuntungan sangat kecil. Karena itu, perusahaan-perusahaan minyak negara (NOCs) berkembang umumnya memperoleh dukungan dana dan insentif fiskal dari pemerintah, atas dasar bahwa kilang dibangun terutama demi meningkatkan ketahanan energi nasional.
Dalam 10 tahun terakhir, negara-negara seperti India, Thailand, Malaysia, hingga China umumnya telah membangun kilang-kilang baru dengan memperoleh insentif dan dukungan dana pemerintah.
Kondisi sebaliknya dialami Pertamina. Selain tidak mendapatkan dukungan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Pertamina harus menanggung kerugian akibat kebijakan pemerintah menahan harga BBM pada level yang jauh di bawah harga keekonomian.
Menurut Marwan, jika tahun lalu beban yang ditanggung Pertamina sekitar Rp25 triliun, pada 2018 diperkirakan meningkat menjadi Rp56 triliun.
“Pemerintah dapat saja mengompensasi beban tersebut di kemudian hari. Namun pada laporan keuangan awal, penugasan pemerintah tersebut tetap saja menjadi beban keuangan korporasi,” kata Marwan dalam keterangan tertulisnya.
Tidak hanya itu, Pertamina pun harus menanggung beban subsidi penyediaan BBM di wilayah terdepan, terluar dan tertinggal (3T) melalui program BBM satu harga.
Di sisi lain, pihak perusahaan swasta seperti, PT Total Indonesia, BP, dan Exxon dibiarkan terus menggerogoti pasar “gemuk” Pertamina, tanpa kewajiban melayani pasar 3T.
Dengan kondisi seperti itu maka tidak heran jika pembangunan kilang-kilang yang ditugaskan oleh pemerintah ke Pertamina akan sulit terealisasi.
“Pertamina akan sangat sulit bersaing untuk menangkal dominasi asing Exxonmobil di pasar BBM domestik. Serta yang jauh lebih penting, Pertamina akan semakin sulit meningkatkan ketahanan energi nasional yang sudah sangat terpuruk,” tandas Marwan.(RI)
Komentar Terbaru