JAKARTA – Pelanggaran terhadap produksi batu bara yang diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 terus ditolerir hingga sekarang. Kesiapan industri menjadi faktor utama yang mengakibatkan penyerapan domestik untuk menekan produksi tidak optimal.
Josaphat Rizal Primana, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Bappenas, mengatakan pemerintah berada dipersimpangan. Ditengah bagusnya harga komoditas batu bara dan kondisi keuangan negara yang tertekan, tentu sayang tidak menggenjot produksi batu bara.
Di sisi lain, jika dilihat amanat RPJMN seharusnya produksi ditahan dikisaran 400 juta ton. Pada 2018, produksi maksimal seharusnya 406 juta ton, dan tahun depan ditetapkan 400 juta ton.
Keputusan terus menggenjot produksi tidak lepas dari kondisi industri dalam negeri yang seharusnya menjadi prioritas pasar batu bara, tidak dapat menyerap dengan optimal.
“Sudah usahakan jaga saja produksi batu bara supaya kebutuhan dalam negeri terjaga dan stabil. Ini ide pada waktu bikin RPJMN 2014-2019. Ternyata dalam perjalanannya, kita tidak punya uang kalau tidak jual,” kata Rizal dalam diskusi Strategi Pengelolaan Batu Bara Nasional di Jakata, Kamis (4/10).
Pekerjaan besar yang harus segera dikebut adalah perkembangan industri nasional. Selama ini penyerap batu bara terbesar hanya dari pembangkit listrik PT PLN (Persero). Itu pun akhirnya tidak diserap secara maksimal karena pembangkit PLN memiliki syarat spesifikasi yang tidak semua bisa dipenuhi dari batu bara yang diproduksi di Indonesia. Alhasil ujung-ujungnya kembali diekspor.
Begitupun dengan potensi pengelolaan gasifikasi batu bara. Sejauh ini pengembangannya terkesan jalan ditempat. Pelaku usaha batu bara juga mengakui bahwa gasifikasi sampai sekarang pengembangannya jauh dari harapan. Salah satu faktor masih sulit berkembangnya gasifikasi batu bara adalah teknologi pengembangan yang mahal.
Gasifikasi batu bara adalah proses untuk mengubah batu bara menjadi fuel gas yang kaya akan CO dan H2. Hal ini bukan lagi teknologi baru. Gas yang dihasilkan dari karbonisasi coking coal telah digunakan sebagai penerangan sejak 1792. Teknologi ini berkembang sangat cepat ke daerah Eropa, Jepang dan Amerika Serikat.
Selain itu, industri lain sebagai penyerap juga tidak kunjung tumbuh seperti bricket, pupuk maupun semen yang sebenarnya punya potensi sebagai penyerap potensial selain pembangkit listrik.
Pada 2018, pemerintah mematok target produksi sebesar 485 juta ton, ditambah dengan penambahan kuota 100 juta ton sehingga target produksi menjadi 585 juta ton. Sementara untuk penyerapan domestik hanya ditargetkan sebesar 121 juta ton.
Sri Rahardjo, Direktur Pembinaan Batu Bara Ditjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan pemerintah tidak melupakan begitu saja RJPMN, meskipun harus diakui membutuhkan hasil penjualan batu bara dari kegiatan ekspor. Langkah yang ditempuh adalah pengetatan syarat produksi.
Misalnya saja melalui Rencana Kerja dan Anggara Biaya (RKAB) yang diajukan biasanya tidak akan sepenuhnya disetujui pemerintah. Kemudian lebih selektif dalam Feasibility Study (FS). “Kalau Amdalnya yang diajukan sekian hektar, kami izinkan kurang dari pengajuan. Lalu kalau punya utang, kami juga tidak akan kasih izin produksi,” ungkap Sri.
Menurut Sri, saat harus menyetujui penambahan produksi, pemerintah akan memastikan hasil ekspor bisa berdampak positif terhadap perekonomian nasional. Untuk itu diatur dengan mekanisme pengaturan Dana Hasil Ekspor (DHE).
Kementerian ESDM, lanjut Sri mewajibkan bank penerima adalah bank dalam negeri dan setiap bulan perusahaan harus melapor hasil penjualannya.
“Kalau tidak lapor, sanksinya mulai dari pengurangan tingkat produksi sampai pencabutan izin,” tandas Sri.(RI)
Komentar Terbaru