JAKARTA – Keputusan pemerintah menetapkan berbagai proyek hilirisasi dan ketahanan energi–yang didominasi proyek berbasis energi fosil–untuk didanai Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), dinilai akan merugikan Indonesia. Pasalnya, proyek-proyek energi fosil akan kehilangan nilai ekonomisnya seiring dunia beralih ke energi terbarukan.
Pemerintah telah menyatakan setidaknya ada 21 proyek hilirisasi senilai US$40 miliar yang akan melibatkan Danantara. Proyek prioritas ini terdiri dari penyimpanan minyak, kilang minyak, gasifikasi batu bara, dan hilirisasi tembaga, nikel, dan bauksit. Pemerintah juga mengungkapkan tidak ada proyek energi terbarukan yang akan didanai Danantara dalam tahap pertama ini.
Sartika Nur Shalati, Policy Strategist CERAH, menilai, dominasi proyek energi fosil tersebut justru akan menjadi bumerang bagi Indonesia. Proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) yang sempat direncanakan PT Bukit Asam (Persero) misalnya, diperkirakan justru akan merugi hingga US$ 377 juta/tahun, mengacu hitungan Institute of Energy Economic and Financial Analysist (IEEFA). Kerugian ini disebabkan karena biaya operasional yang sangat tinggi, bahkan dua kali lipat lebih mahal dibanding impor LPG.
Pembiayaan terhadap energi fosil juga meningkatkan risiko stranded asset, di mana aset-aset seperti tambang batu bara, kilang minyak, dan infrastruktur pembangkit listrik fosil dapat kehilangan nilai ekonomisnya lebih cepat dari yang diperkirakan. Transisi global menuju energi terbarukan membuat permintaan terhadap bahan bakar fosil semakin menurun dan kehilangan pasar, yang pada akhirnya dapat membuat investasinya tidak lagi menguntungkan.
Selain itu, semakin banyak negara yang memperketat masuknya barang-barang hasil proses produksi yang didukung energi fosil. Salah satunya, Uni Eropa yang berencana memungut bea masuk atas barang impor padat karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBAM).
Menurut dia seharusnya, Danantara dapat dimaksimalkan untuk mendorong transisi energi. Utamanya, Danantara dapat membiayai pengembangan energi terbarukan dan pensiun dini PLTU, untuk melepas ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil. “Namun, hal ini masih akan sulit dilakukan melihat kecenderungan investasi yang ditargetkan masih memprioritaskan sektor pertambangan dan energi fosil (migas dan batu bara), ditambah lagi kuatnya konflik kepentingan di baliknya,” jelas Sartika dalam keterangannya, Rabu (19/3).
Potensi konflik kepentingan ini mengingat petinggi Danantara memiliki rekam jejak yang kuat di bisnis energi fosil. Tak hanya itu, pemilihan petinggi Danantara juga dilakukan tanpa uji kelayakan dan kepatutan yang transparan, sehingga menimbulkan pertanyaan terkait konflik kepentingan di masa mendatang.
Wicaksono Gitawan, Policy Strategist CERAH, menyayangkan keputusan pemerintah yang memprioritaskan proyek-proyek energi fosil untuk pendanaan gelombang pertama Danantara. “Seperti yang dikatakan oleh Kementerian ESDM, nilai investasi gasifikasi batu bara menjadi DME yang diproyeksikan mencapai Rp180,8 triliun. Ini sebenarnya bisa digunakan untuk mendorong percepatan transisi energi. Namun, apakah ada kemauan untuk mendorong transisi energi dan penggunaan energi terbarukan?” ujar Wicaksono.
Potensi kerugian Danantara di proyek energi fosil ini juga akan jadi momok bagi perekonomian Indonesia. Dengan dana Danantara berasal dari efisiensi anggaran negara dan aset-aset BUMN, Sartika melanjutkan, tekanan finansial atau kegagalan Danantara mengelola aset secara optimal akan berimbas langsung pada stabilitas ekonomi nasional.
Tak hanya itu, BUMN juga dapat mengalami keterbatasan modal yang cukup besar. Tercatat, terdapat tujuh aset BUMN yang dikelola Danantara, yakni PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Pertamina (Persero), PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (Telkom), PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI), dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI).
“Dengan US$900 miliar dikelola dalam berbagai proyek, Danantara berisiko hanya bergantung pada pengembalian investasi jangka panjang, yang bisa mempengaruhi likuiditas negara, apalagi dalam keadaan darurat. Dengan aset-aset strategis BUMN di atas yang dikelola Danantara, perusahaan-perusahaan tersebut berpotensi kehilangan sebagian kontrol terhadap investasinya sendiri,” kata Sartika.
Harus Transparan
Tak sekadar pemilihan proyek yang tepat untuk didanai, Sartika juga mengungkapkan bahwa sovereign wealth fund (SWF) memerlukan tata kelola yang sangat kuat untuk menghindari risiko penyalahgunaan dana dan kepentingan politik. Hal ini juga berlaku bagi Danantara agar tidak mengulang skandal korupsi besar-besaran seperti 1MDB di Malaysia. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas Danantara harus dijaga dengan ketat dengan regulasi dan kebijakan yang mendukung.
Masalahnya, Pasal 3Y Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyatakan, menteri, organ, dan pegawai badan, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian selama dapat membuktikan hal tersebut bukanlah kesalahan atau kelalaiannya; melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian; tidak memiliki benturan kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung; tidak memperoleh keuntungan pribadi secara tidak sah. UU yang belum lama disahkan tersebut, menjadi karpet merah pendirian Danantara.
“Beberapa pengecualian ini tidak memiliki kepastian hukum, karena memiliki multi tafsir serta pembuktian yang sulit, terutama jika sistem pengawasan dan akuntabilitas yang lemah pada rangkaian prosesnya. Pasal ini semakin memberikan perlindungan kepada pemerintah untuk memberikan celah korupsi yang semakin terbuka lebar,” tegas Sartika. (RI)
Komentar Terbaru