JAKARTA – Tahun 2022 akan ditutup dengan pencapaian target bauran primer energi terbarukan yang menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Namun hadirnya dukungan internasional, peningkatan dan perbaikan peraturan terkait insentif dan proses pengadaan energi terbarukan, serta adanya pipeline proyek yang siap dikembangkan dapat menjadi pendorong
melesatnya pertumbuhan energi terbarukan di 2023.
Institute for Essential Services Reform (IESR) didukung oleh Bloomberg Philanthropies kembali merilis laporan utamanya Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023 yang memantau, menganalisis, dan memproyeksikan perkembangan transisi energi di Indonesia. Laporan IETO menemukan bahwa pangsa energi terbarukan dalam bauran energi primer Indonesia menurun dari
11,5% pada 2021 menjadi 10,4% pada 2022. Hal ini disebabkan pangsa batu bara meningkat ke level tertinggi sepanjang masa sebesar 43%, membuat target 23% pada tahun 2025 akan sulit diraih jika pemerintah tidak segera memperkuat komitmen politiknya terhadap pengembangan energi terbarukan.
“Ada perbedaan kontras antara ambisi dan realisasi perkembangan energi terbarukan. Ada komitmen untuk mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan tapi masih ada perbedaan persepsi dan prioritas berbagai pembuat kebijakan tentang bagaimana proses transisi dilakukan. Ini terlihat
pada keputusan meniadakan feed in tariff pada Perpres 112/2022 dan penolakan terhadap klausula power wheeling pada perumusan RUU EBET, serta keputusan mempertahankan subsidi batu bara dalam bentuk harga Domestic Market Obligation (DMO). Untuk melaksanakan transisi energi yang efektif, pemerintah harus punya kesatuan posisi dan menetapkan no-regret target,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam acara diskusi, Kamis(15/12).
IETO 2023 juga menyoroti pencapaian investasi energi terbarukan yang masih kurang dari target yang ditetapkan pemerintah hanya mencapai US$1,35 miliar sampai Kuartal III 2022, hanya 35% dari
target tahun ini sebesar US$3,97 miliar. Menurut IESR, iklim investasi perlu diperbaiki dengan memperbanyak dukungan finansial untuk pengembang energi terbarukan, proses pengadaan yang lebih jelas, skema tarif jelas, proses perizinan lebih singkat dan jelas, mengurangi hambatan masuknya investor asing, dan meningkatkan akses ke modal dengan suku bunga yang lebih rendah.
Selain itu, penyediaan ruang yang lebih luas bagi integrasi energi terbarukan dalam sistem energi Indonesia harus segera dilakukan.
Raditya Wiranegara, salah satu penulis utama IETO, yang juga merupakan Peneliti Senior IESR, mengatakan hal yang dapat dilakukan untuk memberikan ruang bagi penetrasi energi terbarukan, selain dari
melakukan pensiun dini PLTU, adalah dengan mengoperasikan PLTU secara fleksibel. Secara teknis, pengoperasian ini akan membutuhkan perubahan di dalam komponen-komponen utama PLTU.
“Namun, tidak kalah penting, pengoperasian secara fleksibel akan membutuhkan fleksibilitas dalam hal perjanjian jual beli listrik dan kontrak suplai bahan bakar. Menurut IEA, dengan
membuat kontrak-kontrak ini lebih ‘luwes’ akan terdapat penghematan sebesar 5% dari total biaya operasi selama setahun atau setara US$0,8 miliar. Grid Code juga harus dibuat lebih detail. Hal ini juga mutlak diperlukan agar operator memiliki pedoman regulasi pengoperasian secara fleksibel,” kata Raditya.
Di sisi lain, sektor transportasi dan industri menjadi krusial untuk dilakukan dekarbonisasi dengan cepat. Di sektor transportasi, terdapat tren yang menarik pada adopsi kendaraan listrik yang
meningkat. Terlihat dari jumlah kendaran roda dua dan tiga yang naik hampir lima kali lipat dari 5.748 unit pada 2021 menjadi 25.782 unit pada 2022. Meskipun demikian, jumlah tersebut masih jauh dari target Nationally Determined Contributions (NDCs) yang menetapkan 13 juta kendaraan roda dua dan tiga di 2030.
Agar adopsi kendaraan listrik semakin masif, maka pemerintah perlu membangun ekosistem kendaraan listrik, meliputi pembangunan infrastruktur pengisian daya yang memadai, meningkatkan pengetahuan dan kesadaran konsumen, serta memberikan insentif atau subsidi.
“Pemerintah perlu mendorong penciptaan ekosistem transisi energi di semua sektor energi, salah satunya adalah menciptakan level playing field antara energi fosil dan alternatif teknologi rendah karbon & energi terbarukan. Langkah awal yang perlu dikaji adalah bagaimana subsidi dan kompensasi energi saat ini bisa dialihkan untuk pemberian insentif untuk pengembangan energi
terbarukan dan adopsi teknologi rendah karbon dan disaat yang bersamaan tetap membantu menjaga kesejahteraan masyarakat. Contoh yang menarik adalah subsidi pembelian motor listrik,
sebagai upaya mengalihkan subsidi BBM,”ungkap Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR.
Penggunaan energi fosil di sektor industri telah menyumbang sekitar 20% total emisi gas rumah kaca (GRK) sektor energi Indonesia. Peningkatan efisiensi proses dan efisiensi energi serta
penggantian bahan bakar telah diterapkan oleh beberapa industri intensif energi untuk mengurangi emisinya.
“Implementasi CCUS dapat menjadi strategi jangka pendek yang penting dalam mengurangi emisi proses di industri semen, pupuk, dan baja, tetapi belum dimulai. Sektor industri perlu pula mengembangkan teknologi rendah karbon alternatif, seperti amonia berbasis elektrolisis untuk pupuk dan proses direct reduction iron-electric arc furnace (DRI-EAF) berbasis hidrogen untuk pembuatan besi. Saat ini, pengembangan teknologi rendah karbon di sektor industri sebagian besar
masih dalam tahap awal MoU dan kesepakatan studi bersama,” jelas Raditya.
IESR mendorong pemerintah untuk mencapai bauran energi terbarukan 100% dalam bauran energi primer di tahun 2050 dan bauran energi terbarukan lebih dari 40% di sektor ketenagalistrikan pada
2030. Apabila pemerintah dapat memanfaatkan peluang dan dukungan yang telah disebutkan di atas, maka daya tarik dan bauran energi terbarukan pasti akan meningkat.
Terbit sejak 2017 dengan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) yang kemudian bertransformasi menjadi Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) di 2019. Selain IETO 2023 yang telah memasuki edisi keenam, IESR juga menerbitkan secara terpisah. Indonesia Sustainable Finance Outlook atau ISFO dan Indonesia Solar Energy Outlook atau ISEO pada 2022. Sementara laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook atau IEVO akan dipublikasikan pada awal tahun 2023.(RA)
Komentar Terbaru