JAKARTA – Program hilirisasi nikel yang saat ini dijalankan Pemerintah dan dibangga-banggakan Presiden Joko Widodo dinilai gagal dan berantakan. Apalagi diketahui sejumlah smelter nikel di Tanah Air memutuskan mengimpor bijih nikel lantaran kurangnya pasokan bahan baku. Aksi ini diprediksi akan terus dilakukan hingga Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2024 dirilis di tahun depan.
Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI, meyatakan hingga saat ini program tersebut belum memberikan hasil optimal bagi pendapatan negara. Yang ada malah Pemerintah harus menanggung biaya penanganan masalah sosial di setiap proyek hilirisasi nikel ini.
Ia merasa ada yang aneh dalam program ini, sebab nikel dalam program hilirisasi ini malah impor. “Inikan aneh, hilirisasi kok nikelnya malah dari impor. Kontradiktif,” kata Mulyanto, Senin (9/10).
Mulyanto minta Pemerintah segera mengevaluasi program ini sebelum kondisinya lebih parah. Sebab semua peraturan sudah dipermudah, risiko kerusakan lingkungan sudah terjadi dan segala biaya, royalti atau insentif yang menjadi hak pemerintah sudah dikurangi.
Mulyanto mendesak Pemerintah profesional dalam melaksanakan program ini agar sumber daya alam yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan smelter asing dapat menghasilkan nilai tambah lebih bagi pendapatan negara. Bukan malah merugikan negara.
Ia minta Pemerintah segera menutup smelter kelas I yang hanya bisa memproduksi NPI dan feronikel. “Sebab nilai tambah produk ini sangat rendah sementara kandungan nikel yang digunakan lumayan besar. Karena itu sudah selayaknya Pemerintah melarang ekspor NPI dan feronikel,” ujar Mulyanto.
Indonesia saat ini memang merupakan pemilik sumber daya dan cadangan nikel terbesar dunia. Tercatat total sumber daya bijih nikel mencapai 17 miliar ton dengan total cadangan bijih nikel mencapai 5 miliar ton.
Namun stok bijih nikel dengan kadar 1,7% untuk keperluan smelter sudah tidak banyak lagi. Sementara, sejumlah smelter nikel yang ada di dalam negeri juga harus dipastikan keberlangsungan operasinya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia tercatat mengimpor ore atau bijih nikel dan konsentratnya dengan Kode HS 26040000 dari Filipina seberat 38.850.000 kilogram pada Mei 2023.
Pada 2023 sendiri, selain dari Filipina, impor nikel dan konsentratnya juga tercatat dari Australia, Brasil, China, dan Singapura dengan volume berkisar satuan hingga ribuan kilogram melalui Soekarno-Hatta, Pulau Obi, dan Tanjung Priok. (RI)
Komentar Terbaru