JAKARTA – Penetapan target Net Zero Emission (NZE) mendorong transisi menuju Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di tengah permintaan energi global yang terus meningkat. Namun, pemanfaatan EBT masih belum optimal karena adanya sejumlah kendala. Sehingga, gas dianggap sebagai sumber energi yang dapat mengisi gap kebutuhan di masa transisi.
Implementasi teknologi yang belum optimal dalam menjaga stabilitas pasokan EBT menjadi alasan energi ini belum dapat sepenuhnya menggantikan penggunaan bahan bakar fosil. Hal ini terjadi akibat perbedaan kemampuan berbagai industri dalam beralih dari fosil ke EBT, seperti pada produksi semen dan baja.
Joko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), mengatakan gas alam dapat menjadi sumber energi di tengah transisi. Sebab, gas bumi relatif lebih bersih karena menghasilkan CO2 yang 50 persen lebih rendah dibanding minyak dan batu bara. Selain itu, harganya lebih terjangkau dan aksesnya mudah didapat.
“Beralih ke gas merupakan quick win dalam mencapai NZE,” katanya pada Plenary Session 3 IPA Convention & Exhibition ke-46 yang bertajuk ”Natural Gas as Indonesia’s Transition Fuel: Prospect & Challenges”, di Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (22/9/2022).
Di samping itu, Pemerintah Indonesia telah mencanangkan gas sebagai bahan bakar transisi karena memiliki peran besar dalam penyediaan energi nasional. Target gas dalam bauran energi nasional kian meningkat dari 21 % pada 2020 menjadi 24 persen pada 2050 dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Seiring melambatnya pertumbuhan produksi gas menjadi 4 % setelah 2025 sejalan dengan agenda transisi energi untuk kebutuhan listrik.
Joko menyebutkan permintaan domestik justru diproyeksikan meningkat 6,1 % per tahun hingga 2035.
Berdasarkan laporan WoodMac, cadangan gas alam Indonesia hanya tersisa 35,6 Tcf. Sehingga, para pemangku kepentingan perlu menemukan solusi untuk memenuhi kebutuhan gas alam di tengah transisi energi.
“Indonesia perlu memaksimalkan pengembangan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan tersebut,” ujar Joko.
Rakhmat Asyhari, Executive Vice President Pengadaan Gas and Liquid Fuel Procurement PT PLN Persero, menyampaikan bahwa PLN tengah mengimplementasikan peta jalan (roadmap) yang berlangsung dari 2021 hingga 2060 untuk mencapai NZE 2060. Adapun strategi utama dari peta jalan ini adalah ekspansi eksplorasi gas.
Ekspansi eksplorasi gas ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Tanah Air. Saat ini sudah terbangun infrastruktur Liquefied Natural Gas (LNG) dan jalur pipa gas, khususnya di Pulau Jawa dan Sumatera.
“Selanjutnya kami akan membangun infrastruktur gas untuk mendistribusikan LNG ke bagian timur Indonesia,” ujar Rakhmat.
Jamsaton Nababan, Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha PT Pupuk Indonesia, menyebutkan gas bumi berguna untuk produksi pupuk. Pupuk Indonesia memiliki lima pabrik utama yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk mempertahankan tingkat produksi, Pupuk Indonesia mengamankan pasokan gas sebagai strategi utamanya. Salah satu upaya mengamankan pasokan tersebut dilakukan melalui pengembangan gas bumi di Indonesia Timur.
“Kami merencanakan pengembangan di Papua Barat dan Masela sebagai upaya mengamankan pasokan gas di masa depan, sekaligus menstimulasi pembangunan di Indonesia Timur,” ujar Jamsaton.
Jamsaton menambahkan saat ini Pupuk Indonesia berkomitmen mendukung industri hijau melalui pengembangan green amonia dan blue amonia sebagai alternatif energi.
Dari sisi komersial, Benny Lubiantara, Deputi Eksplorasi dan Pengembangan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), menyampaikan SKK Migas tengah mempercepat proyek pengembangan untuk mendukung komersialisasi dan potensi gas alam di Indonesia melalui Long Term Plan (LTP).
“LTP menjadi strategi untuk menyuplai gas di tingkat regional,” ujar Benny.
Adapun strategi mendukung LTP adalah dengan meningkatkan nilai aset yang ada, menerapkan Resource to Production (R to P), Enhance Oil Recovery (EOR), dan eksplorasi. Benny mengatakan timnya terus memperbarui pelaporan secara teratur.
Untuk mencapai target produksi sekaligus menekan emisi, IPA melihat perlu ada sejumlah strategi.
Diego Portoghese, Dewan Direksi IPA, mengatakan peningkatan infrastruktur dan kerja sama antar sektor hulu dan hilir sangat penting.
“Infrastruktur sangat penting untuk proses distribusi, dengan menghubungkan sumber gas ke pusat permintaan di masyarakat,” kata Diego.
Diego menekankan pentingnya keseimbangan antara pengaturan harga domestik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan potensi ekspor. Ia optimis bahwa Indonesia mampu mensuplai keduanya. “Kunci terpenting untuk mewujudkan hal tersebut adalah pada pengembangan tepat waktu di saat permintaan sedang tinggi,” ujar Diego.
Mark Fitzgerald, Vice President of International Asset Petronas Upstream, menambahkan transisi energi bukan menjadi momentum akhir bagi gas bumi. Justru, transisi energi adalah waktu yang tepat untuk peningkatan kualitas dengan prinsip rendah emisi.
“Gas bumi adalah bagian dari solusi, asalkan berfokus pada transfer teknologi dan pengembangan inovasi LNG, menggunakan Carbon Capture and Storage/Carbon Capture, Utilization and Storage (CCS/CCUS) sebagai strateginya,” kata Mark.
Untuk mengoptimalkan pengembangan dan produksi gas di Indonesia, IPA menyebutkan perlunya dukungan kebijakan dari Pemerintah Indonesia. Diego menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap pengembangan CCS/CCUS merupakan awal yang baik.
“Yang perlu menjadi perhatian ke depannya adalah penguatan kebijakan, perencanaan jangka panjang, dan pengembangan infrastruktur,” ujarnya.(RA)
Komentar Terbaru