JAKARTA – Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan SDA memohon Komisi Ombudsman RI untuk dapat melakukan investigasi terhadap semua dokumen dan proses yang terjadi dalam kesepakatan divestasi saham PT Freeport Indonesia, termasuk terhadap pejabat terkait yang terlibat dalam negosiasi. Dengan demikian, publik akan terhindar dari informasi yang simpang siur tentang divestasi saham tersebut, dan diharapkan negara pun dapat terhindar dari potensi kerugian finansial yang sangat besar.
“Dalam dua minggu terakhir telah terungkap di ruang publik tentang kontroversi fakta keberadaan PI (Participacing Interest) 40% Rio Tinto dengan Freeport Mc Moran (FCX) dalam komposisi saham Freeport Indonesia,” kata Yusri Usman, Anggota Koalisi, kepada Dunia Energi, Jumat (15/2).
Dia mengungkapkan, PI Rio Tinto tersebut telah dibayar lunas pada 21 Desember 2018 oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum sebagai Holding BUMN Tambang sebesar US$ 3,5 miliar.
Fakta tersebut terungkap ketika Simon F Sembiring menulis buku “Karut Marut Implementasi UU Minerba dan Divestasi Freeport Yang Penuh Jebakan” disertai pembahasan serta analisanya secara mendetail.
Buku tersebut telah resmi beredar setelah acara peluncuran dan bedah buku oleh sejumlah pakar pertambangan. Acara tersebut dihadiri oleh Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono, dan mantan Menteri Purnomo Yusgiantoro, Fredy Numbere, Rohkmin Daruri serta sejumlah praktisi dan pakar pertambangan di Jakarta, pada 29 Januari 2019.
PI Rio Tinto dalam struktur saham Freeport-McMoRan di Freeport Indonesia dianggap sebagian pihak berstatus ilegal. Hal ini didasari oleh surat-menyurat antara Freeport McMoRan dengan Menteri Pertambangan Energi (MPE) No.1047/03/M.SJ/1995 tertanggal 28 Maret 1995, surat nomor 1826/05/M.SJ/1996tanggal 29 April 1996, serta surat Penegasan Menteri Keuangan No.S-176/ MK.04/1996 tertanggal 1 April 1996.
Yusri menjelaskan, secara tegas kedua surat menteri tersebut mengatakan PI Rio Tinto di Blok B sebagai pengembangan, bukan Blok A yang sudah dan sedang berproduksi. Kontrak tersebut pun hanya sampai 30 Desember 2021 sesuai Kontrak Karya (KK) 1991
“Pemberian opsi saham kepada pihak lainnya melewati batas waktu kontrak yang sudah disepakati, yakni hingga 2041, dapat diklasifikasikan maladministrasi dan merupakan sebagai tindakan ilegal serta berpotensi mengandung unsur perbuatan pidana,” tegas Yusri.(RA)
Komentar Terbaru