JAKARTA – Perombakan direksi dan nomenklatur PT Pertamina (Persero) berpotensi mengancam stabilitas bisnis yang sedang dibangun. Salah satu lini bisnis yang akan terkena dampak adalah energi baru terbarukan (EBT). Padahal, EBT dengan bisnis panas bumi di dalamnya memiliki kompleksitas tersendiri.
Lini bisnis yang semula ditempatkan dibawah direktorat gas tersebut, akan dialihkan ke direktorat direktorat logistik, supply chain dan infrastruktur. Direktorat gas sendiri telah dihapus sebagai persiapan pembentukan holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) migas.
“Holding telah menghapus salah satu direksinya. Padahal kompleksitas EBT dibawah direktorat gas sebelumnya cukup luas,” kata Inas Nasrullah, Wakil Ketua Komisi VI DPR kepada Dunia Energi, Kamis (15/2).
Pertamina saat ini memiliki bisnis EBT melalui anak usahanya, PT Pertamina Geothermal Energi (PGE). Bisnis EBT ditempatkan dibawah kendali Nicke Widyawati, Direktur Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur.
Menurut Inas, keputusan menempatkan EBT dibawah direktorat logistic, supply chain dan infrastruktur tidak tepat karena seharusnya diperlukan divisi khusus, bukan justru disatukan dengan infrastruktur.
“Pengembangan EBT tidak bisa dipisahkan dengan bisnis EBT nya, jadi tidak tepat dibawah infrastruktur,” kata dia.
Pemerintah melalui Surat Keputusan (SK) Menteri BUMN Nomor 039/MBU/02/2018 merubah nomenklatur Pertamina dengan memecah direktorat pemasaran menjadi direktorat pemasaran ritel dan direktorat pemasaran korporat. Selain itu, menghapus direktorat gas dan mengganti menjadi direktorat logistik, supply chain dan infrastruktur.
Disisi lain, Ibrahim Hasyim, Ketua ILUNI Akademi Migas, mengatakan selama ini Pertamina dominan di sektor hulu, padahal isu yang dihadapi sebenarnya justru di hilir.
“Usaha migas kompleksitasnya bergeser ke hilir. Makanya, organisasinya dikembangkan di hilir dengan meningkatkan posisinya menjadi direktur dengan spesialisasi pada jenis pelanggan. Selama ini masih satu tingkat dibawahnya,” kata Ibrahim.
Dia juga sependapat dengan kehadiran direktorat logistik, supply chain, dan infrastruktur. Apalagi mengingat jumlah armada kapal tanker Pertamina yang mendekati 200 buah dengan jumlah kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) setara tiga hari kebutuhan nasional, ditambah minyak mentah mengangkut minyak mentah dan gas ke semua pelosok di dalam negeri sampai ke luar negeri. “Ini tentu harus diatur dengan ketat dan efisien,” tandas Ibrahim.(RI/RA)
Komentar Terbaru