JAKARTA – Proyek Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia berjalan sangat lambat. Hal ini tentu memberikan pengaruh besar terhadap pencapaian target EBT yang dicanangkan oleh pemerintah. Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menemukan, sebagian besar proyek energi terbarukan belum mencapai tahap kontrak jual beli listrik (power purchase agreement/PPA), meski dilelang sejak dua tahun lalu. Pengadaan proyek energi terbarukan ini terhitung lambat jika menilik target penambahan energi terbarukan 21 gigawatt (GW) dalam RUPTL PT PLN (Persero) 2021-2030, apalagi ambisi 75 GW pada 2040 yang diumumkan dalam COP 29.

Mutya Yustika, Analis Keuangan Energi IEEFA, menuturkan, proses pengadaan energi terbarukan PLN berjalan lambat dari yang diperkirakan, meski telah menargetkan peningkatan kapasitas secara signifikan. Dari target 21 GW dalam RUPTL, PLN seharusnya menambah kapasitas energi terbarukan rata-rata 2,1 GW per tahun. Namun, realisasinya pembangkit listrik energi terbarukan hanya naik 0,6 GW per tahun.

“Meski PLN menargetkan ekspansi kapasitas energi terbarukan yang signifikan, proses pengadaannya justru berjalan lambat. Kebanyakan proyek energi terbarukan saat ini masih dalam tahap lelang dan negosiasi,” kata Mutya dalam  keterangannya belum lama ini di Jakarta.

Dalam program penggantian 5.200 PLTD dengan energi terbarukan yang diumumkan pada 2022 misalnya, meski lelang tahap I telah dilakukan dan Letter of Intent (LoI) sudah ditekan pada Desember 2023, belum ada kontrak yang ditandatangani. Selain itu, Proyek Hijaunesia pada 2023 yang membidik pembangunan PLTS skala besar 1 GW juga masih pada tahap perencanaan dan pemilihan mitra, meski sudah berjalan hampir dua tahun.

Oleh sebab itu, IEEFA menilai restrukturisasi komprehensif proses pengadaan perlu dilakukan untuk mencapai tambahan kapasitas energi terbarukan yang cukup besar setiap tahun untuk merealisasikan visi Presiden Prabowo Subianto. Pemerintah perlu menetapkan prioritas pengadaan proyek yang ada dalam rencana, didukung dengan prinsip pengadaan dan kontrak yang rasional, dan diperkuat pembiayaan untuk pembangunan energi terbarukan 3-5 GW per tahun.

Untuk mewujudkannya, perlu ada pendekatan komprehensif lintas kementerian/lembaga di pemerintahan.

Grant Hauber, Strategic Energy Finance Advisor Asia IEEFA, mengungkapkan institusi seperti PT Sarana Multi Infrastruktur, PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF), dan Indonesia Investment Authority (INA) dapat bekerja sama dengan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan PLN untuk membuat sumber daya dan proses yang dibutuhkan.

“Untuk mendukung keberhasilan pengadaan energi bersih, harus dilakukan identifikasi dan prioritas portofolio proyek, terutama proyek yang memiliki lahan dan sumber daya yang memadai untuk dapat segera diimplementasikan. Aspek-aspek persiapan proyek harus dilakukan untuk mengurangi risiko yang mungkin terjadi, didukung proses pengadaan yang transparan dengan konsep kontrak yang saling menguntungkan. Pendekatan ini perlu direplikasi secara konsisten dan terus menerus, diterapkan di berbagai proyek, secara konsisten pada masa sekarang atau pun masa mendatang,” jelas Grant.

 

Tutup Empat PLTU

Pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan skala besar secara cepat ini dibutuhkan agar Indonesia dapat menyetop operasi seluruh PLTU seperti yang dinyatakan Presiden Prabowo dalam KTT G20 di Brasil. Isu penting lainnya adalah menemukan pendekatan terbaik untuk memensiunkan seluruh PLTU pada 2040. Langkah awalnya yakni mengidentifikasi PLTU mana yang perlu diprioritaskan untuk dimatikan, apakah yang dimiliki secara pribadi oleh produsen listrik swasta (IPP) atau dimiliki secara publik oleh PLN, serta performa dari PLTU tersebut.

Menurut Mutya, penghentian operasi PLTU milik IPP membutuhkan negosiasi yang ekstensif. Oleh sebab itu, pemerintah lebih baik memprioritaskan pensiun dini PLTU milik PLN lantaran hanya akan membutuhkan penilaian internal oleh PLN dan pemerintah untuk menerbitkan kebijakan dan regulasi yang dibutuhkan terkait penghapusan aset yang ditutup. Apalagi, dari total kapasitas PLTU 50 GW, sebanyak 22 GW dimiliki oleh PLN, dan 23% di antaranya telah beroperasi lebih dari 25 tahun.

“Karena terjadi kelebihan pasokan, PLTU yang dimiliki PLN juga tidak dioperasikan penuh. Dalam kondisi normal, capacity factor PLTU seharusnya sekitar 80%. Namun, pada 2023, PLTU PLN di Sistem Kelistrikan Jawa-Bali hanya beroperasi dengan capacity factor 59% dan di Sumatera hanya 53%,,” ungkap Mutya.

Empat PLTU dengan total 4,6 GW masuk dalam kriteria tersebut, yakni PLTU Suralaya Unit 1-7 berkapasitas 3,4 GW; Bukit Asam Unit 1-4 260 MW; Paiton Unit 1-2 800 MW; dan Ombilin Unit 1-2 200 MW. Dari keempat PLTU tersebut, PLTU Suralaya Unit-1 telah beroperasi sejak 1985, dan yang paling muda, PLTU Suralaya Unit-7 sejak 1997.

“Pernyataan Pemerintah Indonesia di G20 dan COP29 menjadi langkah signifikan untuk mengatasi krisis iklim dan bertransisi ke sumber energi yang lebih bersih. Komitmen tersebut harus diwujudkan dalam peraturan perundangan dan regulasi agar PLN dapat merencanakan langkah berikutnya dalam memprioritaskan pengembangan energi terbarukan dibandingkan energi fosil,” tegas Mutya. (RI)