JAKARTA – Aparatur negara dalam hal ini pemerintah dan berbagai lembaga terkait di dalamnya, harus lebih proaktif dalam mengatasi berbagai hambatan di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) guna meningkatkan kinerja industri yang menjadi tulang punggung penerimaan negara tersebut.
Hal ini terungkap dalam dalam diskusi publik bertajuk “Menguak Masalah dan Solusi Industri Hulu Migas Indonesia” di Jakarta, Rabu, 20 November 2013. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu, Prof. Dr. Ir. IGN Wiratmaja Puja, MSc, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Kelembagaan dan Perencanaan Strategis, Prof. Dr. Ir. Iwa Garniwa, Kepala Pusat Kajian Energi Universitas Indonesia (UI), dan Wakil Direktur Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, dengan moderator Hidayat Tantan, Pemimpin Redaksi Dunia Energi.
Komaidi menuturkan, sebenarnya era minyak sudah hampir berakhir di Indonesia, terkait dengan semakin menipisnya cadangan minyak bumi di wilayah Nusantara. Era energi di Indonesia sudah bergeser ke gas, yang terbukti lebih efisien bagi pembangkit listrik dan industri. Cadangannya pun masih cukup melimpah di Tanah Air.
“Cadangan gas Indonesia menempati peringkat ke-12 terbesar di dunia, dan merupakan 1,6% dari keseluruhan potensi gas dunia. Namun dalam pemanfaatannya kita sampai saat ini masih terbentur kendala, diantaranya problem infrastruktur penyaluran gas yang masih terbatas. Persoalan lainnya, cadangan gas itu itu 75% di luar Jawa dan Sumatera. Padahal infrastruktur yang memadai baru di Jawa dan Sumatera,” terangnya.
Sejujurnya, lanjut Komaidi, pasokan gas untuk keperluan domestic sudah sangat mencukupi. Bahkan pasokan gas untuk dalam negeri, dapat dipastikan aman hingga 2025. Namun nyatanya banyak daerah yang defisit gas karena problem infrastruktur.
“Untuk melengkapi infrastruktur itu dibutuhkan invetasi yang tidak sedikit. Namun investasi saat ini banyak terkendala oleh ketidakpastian, yang timbul oleh adanya inkonsistensi kebijakan serta regulasi. Banyak regulasi yang tida-tiba berubah ditengah jalan, tidak harmonis satu dengan yang lain, bahkan bertentangan dengan kontrak antara pemerintah dan pelaku usaha. Seluruh aparat negara harus proaktif mengatasi persoalan ini,” urai Komaidi lagi.
Hal senada diungkapkan Prof Iwa Garniwa. Menurutnya, saat ini lebih baik cadangan minyak Indonesia dikonservasi, dan pemerintah menggalakkan pemanfaatan gas. Hal ini mengingat cadangan minyak Indonesia sudah semakin menipis, dan lapangan yang ada sebagian besar adalah lapangan tua yang sudah banyak mengalami penurunan produksi alamiah. “Jadi saya tidak heran kalau target lifting minyak tak kunjung dapat tercapai,” jelasnya.
Catur Dharma Energi
Sependapat dengan Komaidi, menurut Iwa cadangan gas yang ada di Indonesia saat ini berada di daerah yang sulit. Diantaranya paling banyak di wilayah timur dan di laut dalam. Untuk memanfaatkannya jelas membutuhkan investasi, yang harus didorong oleh kepastian kebijakan dan regulasi.
“Orang datang ke Indonesia mau ngebor gas dapatnya ‘data kosong’, sedangkan ke Malaysia dan Venezuela dalam data seismic tiga dimensi. Ya tentu investor pilih ke Malaysia dan Venezuela,” ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama, Prof Wiratmaja menuturkan bahwa pemerintah sebenarnya telah menyusun suatu kebijakan energi yang komprehensif. Tujuannya adalah meningkatkan perekonomian dan ketahanan nasional. Hal itu tercermin dari Catur Dharma Energi yang telah dicanangkan Menteri ESDM, yakni peningkatan produksi migas, pengurangan konsumsi BBM dan beralih ke gas, pengembangan energi baru terbarukan, serta penghematan dan konservasi energi.
Wiratmaja tak menampik, potensi besar cadangan gas saat ini berada di timur Indonesia dan di laut dalam. Pemerintah pun telah mendorong investasi di kawasan itu, namun masih banyak terkendala perizinan, lingkungan, dan faktor keamanan. “Padahal sudah terbukti, yang bisa ngebor gas di laut dalam dapatnya pasti besar. Contohnya lapangan Jangkrik dan Gendalo Gehem,” tandasnya.
Untuk menjawab persoalan itu, ujarnya, diperlukan sistem yang terkoordinasi dengan baik antar kementerian dan lembaga negara yang ada. “Kalau sekarang kondisinya, ibarat lokomotif, Kementerian ESDM maunya jalan cepat, tapi banyak yang mengerem, sehingga majunya lambat,” pungkas Wiratmaja.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru