Mungkin tidak satupun orang di dunia ini yang pernah memimpikan, bakal meringkuk dibalik jeruji ruang tahanan yang pengap. Terlebih untuk suatu kasus yang sedang menjadi musuh utama bangsa ini, tindak pidana korupsi. Namun kenyataan itu tak dapat ditolak oleh empat karyawan PT Chevron Pacific Indonesia, Endah Rubiyanti, Kukuh Kertasafari, Widodo, dan Bachtiar Abdul Fatah, berikut dua mitra kerjanya Herlan bin Ompo dari PT Green Planet Indonesia serta Ricksy Prematuri dari PT Sumigita Jaya.
Mereka harus mendekam sekitar dua bulan di tahanan Kejaksaan Agung, akibat dituduh telah bersekongkol melakukan tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan proyek bioremediasi Chevron. Merasa hak asasinya sebagai warga negara ditindas, keluarga mereka melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dipimpin Komisioner sekaligus Koordinator Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Natalius Pigai, lembaga yang berkantor di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat itu melakukan penelusuran, pemeriksaan, dan penyelidikan.
Hasilnya, Komnas menemukan adanya indikasi pelanggaran HAM dan diskriminasi yang dialami para terdakwa, dalam proses penanganan kasus bioremediasi Chevron. Berikut petikan lengkap interview Dunia Energi (DE) dengan Natalius Pigai (NP) di Jakarta pada Kamis, 2 Mei 2013.
DE: Kami mendapat kabar bahwa tersangka atau terdakwa dalam kasus bioremediasi Chevron sudah melaporkan adanya dugaan pelanggaran HAM ke Komnas HAM, terkait penanganan kasus bioremediasi oleh Kejaksaan Agung. Sejauh mana hasil penyelidikan Komnas HAM terkait hal ini?
NP: Jadi sampai sekarang Komnas HAM belum menyatakan ada pelanggaran HAM karena laporannya belum selesai. Mungkin baru samapai pada indikasi. Jadi jangan dikatakan ada pelanggaran HAM. Baru indikasi. Indikasi-indikasi itulah yang kita lakukan penyelidikan. Kami sudah menyiapkan bahan hasil penyelidikan Komnas HAM setebal 400 halaman. Mungkin dalam satu atau dua minggu ke depan rekomendasi sudah bisa diserahkan secara langsung.
Memang ada satu aspek yang kita temukan sangat mencolok, yakni diskriminasi. Bahasa hukumnya terjadi diskriminasi di hadapan peradilan. Peradilan itu kan mestinya adil, imparsial. Dari para pihak yang terkait dengan bioremediasi itu kan ada top management, middle management, ada lower management. Mengapa yang diselidiki dan dijadikan terdakwa oleh Kejaksaan itu hanya yang di tingkat lower management? Kemudian bagaimana dengan middle management dan top management?
Jadi yang berhak mengambil keputusan dalam proyek bioremediasi itu siapa? Karena itu dalam ranah konteks kewenangan penyelidikan Komnas HAM yang baru kami katakan itu, ada semacam diskriminasi dalam pelayanan peradilan di Kejaksaan. Yang itu yang baru ditemukan.
Tapi soal pelanggaran HAM itu yang belum, dan itu yang nanti akan disampaikan dalam bentuk kesimpulan dari hasil penyelidikan kita di lapangan. Kalau untuk pelanggaran HAM itu yang kita temukan baru indikasi. Nanti setelah ada kesimpulan baru kita sampaikan ada pelanggaran atau tidak ada pelanggaran. Tapi memang aspek yang mengemuka di publik itu kan adanya diskriminasi.
DE: Kabarnya mereka para terdakwa ini merasa saat disidik Kejaksaan tidak tahu bakal dijadikan tersangka. Semula mereka hanya dipanggil untuk menerangkan proyek bioremediasi, tapi kemudian usai pemeriksaan ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan?
NP: Oke kalau begitu saya sekarang tanya, itu mengapa? Menurut Anda mengapa? Kalau sebagai wistle blower kita setuju. Tapi kalau dijadikan tersangka kita tidak setuju. Ini kan mereka sudah jadi tersangka, sudah jadi korban, itu yang salah. Jangan di tingkat lower dong yang dijadikan tersangka. Mereka itu kan jadi tersangka kan setelah diperiksa semua. Itu kan mestinya diperiksa semua dulu mulai karyawan atas, menengah, sampai karyawan rendahan, baik yang warga negara Indonesia maupun warga negara asing.
Mestinya, setelah diperiksa semua saksi-saksi baru kemudian diambil kesimpulan untuk ditetapkan sebagai tersangka. Kan begitu. Jadi kalau mereka didatangkan untuk jadi wistle blower nggak apa-apa, itu wajar-wajar saja. Tapi ini mereka langsung dijadikan tersangka, ditahan dan dipenjara, bagi kami itu yang tidak wajar, dan ada sesuatu yang salah. Jadi kalau ini barang diselidiki, tidak ada argumentasi rasional yang bisa dipertahankan oleh Kejaksaan.
DE: Apakah nantinya hasil penyelidikan Komnas HAM ini bisa menjadi dokumen yang dipertimbangkan dalam pengambilan putusan di pengadilan?
NP: Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999, pasal 89 ayat 3 disebutkan bahwa Komnas HAM bisa menjadi mitra peradilan yang disebut “AMICUSCURIAE”. Dalam konteks kasus bioremediasi ini, kami sudah melakukan investigasi dan penyelidikan yang mendalam, sehingga kami akan meminta penyidik Komnas HAM dijadikan mitra peradilan dalam kasus bioremediasi ini. Karena kita sudah serius dan kita sudah terlalu jauh.
Dan Komnas HAM sudah siap untuk hadir di pengadilan sebagai mitra peradilan. Jadi silahkan ditulis, Komnas HAM kapan pun siap untuk jadi mitra peradilan. Jadi dari kami itu, baru ada indikasi pelanggaran HAM, belum ada kesimpulan final, namun yang mencolok adalah adanya diskriminasi. Hasil kesimpulan kami nanti akan disampaikan ke pihak-pihak yang terkait dan ke publik.
DE: Bagaimana awalnya Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM dalam penanganan kasus bioremediasi Chevron oleh Kejaksaan Agung ini?
NP: Jadi kami melangkah berdasarkan adanya laporan, yang disampaikan pada 23 November 2012 oleh keluarga empat orang karyawan Chevron. Mereka melaporkan adanya dugaan pelanggaran HAM dalam penetapan tersangka dan penahanan yang dilakukan Kejaksaan Agung atas kasus bioremedaisi yang terjadi di wilayah operasi PT Chevron Pacific Indonesia. Lalu berikutnya pada 14 Februari 2013, dua kontraktornya yakni dari PT Sumigita dan PT Green Planet Indonesia juga menyampaikan pengaduan yang sama ke Komnas HAM.
Berdasarkan laporan ini maka Komnas HAM menerjunkan tim, untuk melakukan pemeriksaan dan penyelidikan guna menguji kebenaran laporan tersebut, mengandung pelanggaran HAM atau tidak. Kemudian kita melakukan pemanggilan saksi, meminta keterangan beberapa pihak, mempelajari dokumen-dokumen yang ada, kemudian mengunjungi lokasi. Selama empat hari kita di lokasi untuk mengunjungi 9 SBF (Soil Bioremediation Facility), bukan 2 SBF seperti yang dibilang Kejaksaan Agung. Yakni di Riau, di Duri, Pematang, Minas, dan lain-lain yang jaraknya saling berjauhan satu sama lain. Bisa berjam-jam jarak antara satu SBF ke SBF lainnya.
DE: Dari kunjungan selama empat hari di lokasi itu, apa yang diperoleh oleh Komnas HAM?
NP: Ya Singkat kata, seperti yang kami sampaikan dalam laporan yang sekitar seminggu lagi selesai. Dari semua saksi dapat diketahui, kasus ini berawal dari adanya dugaan tindak pidana korupsi. Lalu kita periksa, di mana sih letak dugaan korupsi itu. Setelah kita pelajari, dari temuan BPKP menyebutkan adanya kerugian keuangan negara sebesar sembilan koma sekian juta US Dolar pada proyek bioremediasi dari rentang 2006 sampai dengan 2012. Mengapa korupsi? Katanya karena kegiatannya ini tidak seusai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH) Nomor 128 Tahun 2003. Maka kami Komnas HAM mulai bekerja dari situ.
DE: Lalu sejauh mana indikasi adanya pelanggaran HAM yang ditemukan Komnas HAM?
NP: Jadi setelah itu, kami mulai melakukan penyelidikan pemeriksaan, dan indikasi kami memang ada dugaan pelanggaran HAM. Indikasinya itu apa?
Pertama, dari mempelajari dokumen kami menemukan bahwa ternyata proyek ini adalah proyek perusahaan atau korporasi, yang mekanisme pengadaan dan perencanaannya serta approval-nya ada dalam mekanisme Production Sharing Contract (PSC) Migas. Artinya pertanggungjawabannya ada pada level korporasi.
Kedua, dalam menjalankan proyek korporasi ini pedoman Chevron adalah PSC migas, dan di situ ada klausul yang mengatakan terkait adanya beda penafsiran soal kerugian dan segala macam, itu mekanismenya adalah perdata seperti yang diatur dalam kontrak tersebut. Kalau tidak bisa diselesaikan secara perdata maka dibawa ke arbitrase.
Ketiga, terkait dengan mekanisme pertanggung jawaban, seperti yang tadi sudah kami jelaskan, ini proyek kan proyek korporasi. Jadi yang bertanggung jawab adalah pimpinan korporasi. Chevron sendiri waktu kami mintai keterangan mengaku bahwa ini proyek korporasi, tidak ada karyawan yang salah. Artinya kalau Kejaksaan Agung menganggap ada masalah, maka yang harusnya dimintai pertanggung jawaban adalah pimpinannya, bukan karyawannya. Dan semua orang yang ditetapkan sebagai terdakwa kemarin itu, semuanya tidak memenuhi unsur sebagai pihak yang dapat dimintai pertanggung jawaban sebagai korporasi. Jadi ada ketidaktepatan dalam meminta pertanggung jawaban. Salah sasaran.
Keempat, mengenai izin. Dibilang Chevron tidak ada izin untuk melakukan bioremediasi. Kami sudah lakukan pemeriksaan, ternyata Chevron punya izin namun ada jedah (izin habis, red) memang, namun Chevron sudah mengajukan perpanjangan. Dan kami sudah bertanya juga ke Kementerian Lingkungan Hidup dan mereka menyatakan tidak ada masalah. Saat dilakukan perpanjangan ada berita acara yang menyatakan bahwa Chevron bisa jalan terus, yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup.
Jadi dari sisi administrasi perizinan menurut Kementerian Lingkungan Hidup itu tidak ada pelanggaran. Soal jaksa bilang kontraktor tidak berizin, Kementerian Lingkungan Hidup menjelaskan bahwa kontraktornya memang tidak berlu berizin. Izin itu hanya diberikan kepada Chevron yang memiliki limbah, bukan kontraktor.
Kelima, pada metodologi penelitian kadar TPH (Total Petroleum Hydrocarbon) tanah. Waktu tim Kejaksaan Agung ke sana pada Februari dan april 2012 (saya lupa tanggal persisnya, tapi ada dalam dokumen laporan hasil penyelidikan kami) mereka hanya mengambil sampel di dua SBF, dan dari situ mereka mengatakan dua SBF itu mengandung permasalahan.
Dari aspek itu kami melihat metodologinya kurang pas, karena dari dua SBF yang mereka ambil itu menyatakan bahwasanya seluruh kegiatan biremediasi semuanya salah. Padahal yang disebut dana USD 9,9 juta itu untuk sembilan SBF, bukan dua SBF. Jadi dana yang digunakan untuk membayar dua kontraktor sebesar USD 9,9 juta itu untuk sembilan SBF, bukan dua SBF seperti yang dihadilkan dari audit BPKP. Dalam hal ini BPKP mengatakan “kami tidak tahu menahu”.
Jadi tidak bisa sampel dari dua SBF itu digunakan untuk sembilan SBF karena jaraknya saling berjauhan, bisa berjam-jam. Mulai dari Minas ke Duri, lalu ke kota Batak-nya lagi, sampai ke perbatasan Sumatera Utara. Jadi ahli dari manapun kami tanya, mengatakan tidak bisa digunakan metodologi pengambilan sampling seperti itu, dua SBF untuk mewakili untuk semua, logikanya nggak ketemu.
Keenam, terkait dengan aturan mengenai TPH tanah. Bioremediasi itu kan dianggap korupsi karena menurut keterangan ahli Kejaksaan Agung tidak sesuai dengan Kepmen LH 128/2003. Maka kami tanya bagian mana yang tidak sesuai dengan Kepmen LH 128/2003? Dia mengatakan yang boleh dibioremediasi hanya yang TPH-nya 7,5% sampai 15%, di luar itu tidak boleh. Tapi itu menurut keterangan ahli Kejaksaan Agung. Karena saat kami tanya ke Kementerian Lingkungan Hidup, tidak ada disebutkan dalam Kepmen 128 bahwa TPH minimal 7,5%. Yang ada adalah, yang boleh dibioremediasi yang TPH-nya dibawah 1%. Dari situ kami menemukan bahwa dakwaan jaksa penuntut umum salah.
Ketujuh, kami kemudian bertanya siapa yang mengeluarkan keterangan soal TPH seperti itu? ternyata ahli dari Kejaksaan Agung yang bernama Edison Effendi. Keterangan ahli Edison Effendi inilah yang menimbulkan indikasi adanya tindak pidana korupsi. Lalu kami cek dan periksa semua dokumen yang diserahkan kepada kami.
Kami temukan bahwa pertama, diakui bahwa Edison Effendi adalah saksi ahli, tapi dia datang ke persidangan sebagai saksi fakta juga. Dia datang ke lapangan juga. Jadi sebenarnya dia itu sebagai saksi (fakta) atau ahli? Kemudian yang kedua, Edison Effendi ini ternyata pernah beberapa kali terlibat dalam tender proyek bioremediasi Chevron. Entah dia sebagai pemilik atau wakil perusahaan yang ikut tender atau apa, kami tidak tahu pasti.
Yang jelas pada 2004 dia ikut mewakili sebagai konsultan suatu perusahaan yang ikut tender bioremediasi Chevron. Lalu 2007 ikut lagi dikuasakan sebagai wakil perusahaan peserta tender, ikut rapat dan segala macam. Kemudian pada 2011 juga ikut tender lagi. Dari karyawan Chevron yang menangani tender itu, memang diakui sempat ada ancaman dari Edison Effendi yang bunyinya kurang lebih “awas, saya juga butuh makan”. Jadi ada conflict of interest di sini kan dari keterangan yang dikeluarkan ahli bernama Pak Edison Effendi ini.
Nah lalu kami kan juga harus cek kepada dia, maka kami sudah panggil Edison Effendi dua kali, namjun dia tidak hadir tanpa ada informasi maupun keterangan. Lalu kami berikan kesempatan ketiga, kami panggil lagi Edison Effendi pada 26 April 2013, tapi yang datang bukan dia, melainkan orang yang mengaku kuasa hukumnya, membawa surat undangan kami tapi tidak membawa surat kuasa. Lalu kami yang menemui mengatakan, anda tidak bisa kami periksa karena anda bukan siapa-siapa. Bahkan kami bilang, anda juga bisa kami bawa ke ranah hukum karena membawa surat negara (undangan dari Komnas HAM) padahal bukan siapa-siapa (karena tidak membawa surat kuasa).
Lalu dia mengaku akan datang lagi Senin dengan membawa surat kuasa, dan kami persilahkan. Benar memang pada Senin dia datang lagi membawa surat kuasa, namun tidak mau diperiksa sebagai saksi, melainkan hanya mau diperiksa sebagai ahli. Padahal dari semua dokumen yang kami miliki, selain sebagai ahli Kejaksaan Agung, dia juga dihadirkan di persidangan sebagai saksi. Lalu kami mengatakan, ya kalau gitu anda pulang saja, anda mengatur-atur kami kalau gitu namanya. Silahkan anda pulang dan dalam laporan kami tinggal menyebutkan saudara Edison Effendi dipanggil tiga kali tidak hadir.
Indikasi kedelapan, audit kerugian negara sebagai dasar pengenaan kasus korupsi harus dilakukan oleh BPK RI, dan tidak bisa oleh BPKP. Selain itu, terkait dugaan korupsi pada pembayaran cost recovery, mestinya kan sesuai mekanisme PSC merupakan ranah perdata atau penyelesaiannya melalui arbitrase. Bukan dibawa sebagai kasus pidana.
DE: Apakah Komnas HAM juga memantau jalannya persidangan kasus bioremediasi ini di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi?
NP: Ya, kami juga memantau proses peradilannya. Karena proses yang berlangsung di pengadilan juga termasuk kewenangan kami menurut UU tentang HAM Nomor 39 tahun 1999, dan UU nomor 12 tahun 2005 tentang ratifikasi konvensi internasional mengenai hak sipil dan hak politik. Dalam dua UU itu ditegaskan, peradilan itu harus adil. Dan juga harus memberikan kesempatan yang sama, berimbang, dan adil, baik terhadap terdakwa maupun terhadap jaksa penuntut umum.
Dari situ kami temukan, terkait dengan terdakwa Herlan, ternyata tidak memenuhi syarat peradilan yang berimbang dan adil tersebut, baik menurut UU maupun menurut kita. Jadi dalam persidangan, pihak penuntut umum telah diberikan kesempatan menghadirkan sekitar 40 saksi dalam waktu 3,5 bulan, sedangkan terdakwa hanya diberikan waktu untuk menghadirkan saksi sekitar dua minggu. Sampai terdakwa menangis, sampai pengacaranya walk out segala macam, tetap tidak diberikan waktu lebih oleh hakim. Itu menurut hak-hak sipil politik sudah melanggar, tidak boleh seperti itu.
Dalam hal ini yang melanggar hakimnya. Sebagai terdakwa kan dia nanti yang akan dihukum, mestinya diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Itu yang disebut peradilan yang jujur dan adil. Dalam berbagai konvensi internasional tentang hak asasi manusia, juga dalam UU HAM sendiri, itu sudah jelas bahwa persidangan itu harus jujur dan adil. Dalam konvensi perlindungan hak-hak sipil politik pun lebih spesifik lagi disebutkan bahwa orang yang dituduh bersalah itu harus diberikan kesempatan yang sama untuk membuktikan dirinya tidak bersalah.
Jadi dari sisi kesempatan menghadirkan saksi saja sudah jelas adanya pelanggaran terhadap hak-hak warga negara untuk mendapatkan keadilan. Itu dalam konvensi hak sipil politik, dalam UU HAM, UU Kekuasaan Kehakiman, dan dalam prakteknya di seluruh dunia sama. Terdakwa harus diberi kesempatan yang cukup untuk membela diri. Seharusnya semua hakim tahu akan hal itu. Itulah yang berdasarkan pemantauan kami tehadap persidangan dan berdasarkan laporan terdakwa Herlan. Dia juga melapor ke Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial yang ditembuskan ke kami.
DE: Ngomong-ngomong pihak mana saja sih yang sudah dimintai keterangan oleh Komnas HAM terkait penyelidikan kasus ini?
NP: Pertama Chevron sendiri selaku korporasi. Kedua adalah 18 orang karyawan Chevron yang terkait dengan proyek ini. Kemudian SKK Migas kami mintai keterangan dua kali. BPKP kami mintai keterangan dua kali, BPK satu kali terkait metodologi audit. Kemudian Kementerian Lingkungan Hidup kami minta keterangan dua kali, Kementerian ESDM satu kali, kemudian kami koordinasi dengan Komisi Kejaksaan, kemudian dari asosiasi (IPA), dan tentu Pak Edison sendiri sudah kami panggil tapi tidak datang dan tidak ada keterangan yang jelas.
DE: Berarti penyelidikan dan pemantauan yang dilakukan Komnas HAM pada kasus bioremediasi ini sudah hampir final ya. Lalu apa lagi yang ditunggu?
NP: Ya boleh dibilang apa yang kita lakukan sudah 95%. Terakhir nanti hasil temuan-temuan kita ini kita mintakan klarifikasi ke pihak Kejaksaan Agung. Nanti jawabnya Kejaksaan seperti apa, itulah yang menjadi kesimpulan dan rekomendasi kita nantinya. Apa yang kita lakukan ini sudah termasuk investigasi namun bukan pro justisia.
(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru