JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) berjanji, mulai tahun 2014 ini akan terlibat langsung dalam proses pembebasan lahan. Dengan begitu, pengadaan tanah untuk kepentingan operasi pengeboran akan berlangsung tepat waktu.
Seperti diungkapkan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala SKK Migas, Johannes Widjonarko, meski tidak lagi menjadi kendala utama, namun lamanya proses pembebasan lahan untuk keperluan pengeboran eksplorasi maupun produksi, masih menjadi penghambat operasi hulu migas sepanjang 2013.
Bahkan dalam catatan Dunia Energi, sulit dan lamanya waktu pembebasan lahan, masih menjadi salah satu momok utama kegiatan operasi hulu migas di 2013. Hadirnya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, ternyata belum menjawab persoalan tersebut. Justru penerapan UU itu, berpotensi menimbulkan sejumlah masalah bagi peningkatan kinerja sektor hulu migas.
Keluhan diantaranya diungkapkan Public Relation Manager PT Pertamina EP, Agus Amperianto. Menurutnya, UU 2/2012 kontraproduktif terhadap semangat 2013 sebagai tahun pemboran. Padahal pencanangan 2013 sebagai tahun pemboran, merupakan bagian dari pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2012 tentang peningkatan produksi migas menjadi 1 juta barel per hari pada 2014.
Agus contohkan Pasal 7 ayat (2) UU 2/2012 yang menyebutkan, pembebasan lahan untuk kepentingan pengeboran migas diselenggarakan berdasarkan Rencana Strategis dan Rencana Kerja Instansi yang memerlukan tanah. Lebih lanjut, aturan teknis pengadaan tanah dimana tahapan untuk membebaskan sebidang tanah di atas 1 hektar, membutuhkan waktu panjang hingga maksimal 583 hari kerja, atau lebih dari dua tahun.
“Kami sangat kesulitan dengan adanya UU itu. Pertamina EP menargetkan pemboran lebih dari 300 sumur di 2013. Jika kita mengikuti regulasi yang ada, maka sumur-sumur tersebut baru bisa dibor paling cepat pada 2015. Sehingga, komitmen 2013 sebagai tahun pemboran tidak bisa terwujud,” ucapnya kepada Dunia Energi, Maret 2013.
Guru Besar Hukum Pertanahan Universitas Indonesia (UI) Prof Arie Sukanti Hutagalung, SH, MLI mengungkapkan, UU 2/2012 memang memberikan suatu kemajuan, dalam perolehan lahan untuk kepentingan pembangunan. Yakni tenggat waktu pembebasan lahan yang tadinya nyaris tak terbatas karena panjangnya negosiasi, dibatasi menjadi maksimal 572 hari kerja atau dua tahun, sudah harus sampai tahap penyerahan tanah.
Namun yang berpotensi menimbulkan masalah, ialah budaya hukum dan budaya kerja birokrasi di Indonesia, yang belum cukup menunjang proses yang cepat. “Sampai saat ini, kita masih akrab dengan budaya kerja birokrasi yang kalau bisa diperlambat mengapa harus dipercepat? Jadi dalam konteks ini, yang salah bukan Undang-undangnya, melainkan yang melaksanakan UU,” kata Arie, April 2013 lalu.
Dunia Energi juga mencatat, pada Jumat, 26 April 2013, SKK Migas dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menandadatangani nota kesepahaman (MoU/Memorandum of Understanding) terkait pengadaan tanah untuk keperluan sektor hulu migas. Kepala BPN, Hendarman mengatakan, MoU ini bertujuan mewujudkan tertib administrasi, dan memberikan kepastian hukum pada sektor hulu migas, yang sanat strategis bagi kepentingan nasional.
Namun kenyataannya, hingga akhir 2013 masih banyak pelaku industri hulu migas, yang mengeluhkan lamanya pembebasan lahan atau pengadaan tanah untuk kegiatan pengeboran. Mengatasi kendala ini, kata Widjonarko, pada 2014 SKK Migas akan terlibat langsung dalam proses pembebasan lahan. Jadwal pembebasan lahan diupayakan tepat waktu, serta mengupayakan dan mendorong terus penyelesaian Service Level Agreement (SLA) terkait perizinan.
Disarankan Menyewa Tanah
Dalam kesempatan terpisah, Prof Arie Sukanti Hutagalung menilai, berlarut-larutnya pembebasan lahan memang cukup menyulitkan sektor hulu migas, yang saat ini sedang didorong untuk meningkatkan kinerja khususnya dalam eksplorasi dan produksi.
Karena sebelum ada pelepasan atau penyerahan lahan, maka belum bisa dikatakan sebagai tanah negara. Pemilik tanah bisa sewaktu-waktu menggugat aktivitas di atas lahan yang bersangkutan. Sementara pelaku usaha hulu migas, saat ini ditarget oleh SKK Migas untuk melaksanakan pengeboran 2.000 sumur sepanjang 2013.
“Jalan keluar yang kami usulkan kepada pelaku industri migas, ialah tanah yang akan dilepaskan disewa dulu, sehingga aktivitas hulu migas di atasnya dapat dilaksanakan sembari menunggu proses pelepasan. Atau pelaku usaha bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika terjadi keterlambatan dalam setiap tahapan proses pengadaan tanah,” jelas Arie.
Potensi persoalan lainnya, lanjut Arie, ialah ditunjuknya BPN sebagai penyelenggara dalam tahap pelaksanaan pengadaan tanah, dengan pelaksananya Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN. Sementara dalam tahap persiapan pengadaan tanah, ketua pelaksananya adalah bupati/walikota. Pembagian tugas ini menurutnya terbalik dan tidak fungsional.
Mestinya BPN terlibat sebagai ketua pelaksana dalam tahap persiapan, karena yang diperlukan dari BPN adalah peta tanah. Sedangkan di tingkat pelaksanaan pengadaan tanah, bupati/walikota sebagai pelaksananya. “Kalau dalam tahap pelaksanaan pengadaan tanah semuanya ditangani BPN, apakah sanggup? Dalam tahap ini justru yang dibutuhkan pemerintah daerah guna mengkoordinasikan organ atau instansi lain, termasuk BPN secara vertikal,” tukas Arie Sukanti.
Potensi Moral Hazard
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Indonesia Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mencermati potensi adanya “moral hazard” dalam keseluruhan proses pengadaan tanah, berdasarkan UU 2/2012. Ini karena begitu banyaknya instansi yang terlibat di dalamnya, serta pelaksana yang berganti-ganti di setiap tahapan.
Untuk menghindari ini, kata Marwan, Pemerintah Pusat dan Daerah harus menjamin proses pengadaan tanah sesuai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik: transparan, akuntabel, efisien, efektif, proaktif, profesional, partisipatif, taat hukum dan berwawasan ke depan.
“Pemerintah melalui lembaga terkait perlu menyusun prosedur standar yang digunakan (Gubernur dan Kepala Kanwil BPN) untuk proses pengadaan tanah untuk kegiatan migas. Juga menerbitkan peraturan khusus pengadaan tanah bagi sektor hulu migas, yang konsisten dengan Pasal 7 UU 2/2012 tentang batas waktu maksimal pengadaan tanah,” ujar Marwan.
Kejar Target Lifting
Widjonarko sendiri menuturkan, keputusan SKK Migas turun langsung dalam proses pembebasan lahan, adalah dalam rangka memenuhi target kinerja sektor hulu migas di 2014. Dalam APBN 2014, ditargetkan lifting minyak (minyak bagian negara, red) sebesar 870.000 barel per hari, dan lifting gas bumi sebesar 7.175 juta british thermal unit per hari (bBtud). Jumlah ini setara 2.110.000 barel ekuivalen minyak per hari. Target penerimaan negara dari penjualan migas tersebut sebanyak USD 30,6 miliar.
“Target produksi migas dari pemerintah ini lebih tinggi ketimbang hasil pembahasan WP&B (Work Program and Budget) 2014 yang memperkirakan lifting minyak sebesar 804.000 barel per hari, dan gas bumi sebesar 6.853 bBtud. Gap target produksi ini menjadi tantangan industri migas pada 2014,” kata Widjonarko di Jakarta, Kamis, 2 Januari 2014.
Untuk itu, selain ikut terlibat langsung dalam pembebsan lahan, SKK Migas juga telah menyiapkan beberapa langkah untuk menyiasati tantangan yang dihadapi. Yang pertama, mengatasi masalah gangguan operasi. Upaya yang dilakukan dengan mengurangi kegagalan operasi produksi dan pengeboran untuk mendapat tambahan produksi dan fasilitasi penyelesaian masalah proyek.
Kedua, mengurangi penghentian produksi yang tidak direncanakan (unplanned shutdown). Langkah yang dilakukan antara lain, evaluasi detail atas rencana pemeliharaan fasilitas produksi dan meningkatkan pengawasan fasilitas produksi.
Ketiga, mengatasi decline rate (penuruan produksi secara alamiah, red) yang tajam, dengan memastikan jadwal pengeboran sumur tahun pengembangan tepat waktu, dan optimalisasi proses pengembangan. Hal ini sangat berhubungan dengan pembebasan lahan atau penyediaan tanah untuk pembangunan.
Terakhir, ujarnya, SKK Migas di 2014 ini akan terus berupaya mengatasi kendala pengadaan, dengan pemutakhiran proses bisnis dalam proses pengadaan, serta meningkatkan akuntabilitas dan tata kelola yang baik.
“Jika langkah-langkah tersebut berjalan baik, ditambah upaya kontraktor mengoptimalkan produksi minyak di sejumlah lapangan, mudah-mudahan produksi minyak berada dikisaran 830-840 ribu barel per hari,” kata Widjonarko.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Berita terkait:
Agus Amperianto; UU Pengadaan Tanah Hambat Kinerja Hulu Migas : https://www.dunia-energi.com/agus-amperianto-uu-pengadaan-tanah-hambat-kinerja-hulu-migas/
UU 2/2012 Berpotensi Timbulkan Masalah Bagi Kinerja Sektor Migas : https://www.dunia-energi.com/uu-22012-berpotensi-timbulkan-masalah-bagi-kinerja-sektor-migas/
SKK Migas Gandeng BPN Percepat Pengadaan Tanah : https://www.dunia-energi.com/skk-migas-gandeng-bpn-percepat-pengadaan-tanah/
Komentar Terbaru