Jika tidak ada halangan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan meresmikan pengoperasian Residual Fluid Catalytic Cracking (RFCC) unit di areal Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap, Jawa Tengah, Kamis (26/11). RFCC adalah bagian dari peta jalan (road map) pengembangan kilang Pertamina demi memenuhi kebutuhan pasar dan tuntutan teknologi kendaraan di masa mendatang.
RFCC merupakan teknologi yang memanfaatkan katalis untuk mengonversi minyak berat ataupun residu, baik atmosferik maupun vacuum residue oils menjadi produk yang lebih bernilai, terutama gasoline dan beberapa produk lainnya, seperti liquefied petroleum gas (LPG) dan propylene. Unit RFCC yang pembangunannya dilaksanakan konsorsium PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) dan Goldstar Co Ltd dari Korea Selatan dengan investasi sekitar Rp 11 triliun itu lokasinya sengaja berada di area RU IV Cilacap. Pasalnya, RU IV Cilacap adalah kilang terbesar Pertamina– dari total enam kilang milik perusahaan– dengan kapasitas produksi mencapai 348 ribu barel per hari.
“Kilang Cilacap memasok 60% kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di Jawa dan 34% di Indonesia serta dengan jenis produk berupa BBM, non-BBM, dan petrokimia,” ujar Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero).
Menurut Wianda, keberadaan RFCC Cilacap bisa meningkatkan kemandirian dan ketahanan energi nasional melalui peningkatan produksi bahan BBM dan non-BBM. RFCC Cilacap mampu menghasilkan 30 ribu barel premium per hari. Jika dikalikan setahun 365 hari, per tahun mampu memproduksi 10,5 juta barel premium. Jumlah tersebut setara dengan 10% impor nasional premium.
“Itulah penghematan devisa yang dapat dilakukan dengan berkurangnya impor premium. Belum lagi proyek ini bisa memberikan efek ganda (multiplier effect) dengan membuka lapangan kerja sekitar 9 ribu orang saat proyek berlangsung dan 400 orang saat operasi komersial. Pajak untuk pemerintah dan perekonomian masyarakat sekitar juga akan bertumbuh,” katanya.
Modernisasi Kilang
Kebijakan manajemen Pertamina mengembangkan RFCC patut diapresiasi karena akan meningkatkan kapasitas produksi dari kilang perseroan yang berada di level 1,15 juta barel per hari. Padahal, kebutuhan BBM dan turunnannya saat ini hampir mencapai 1,45 juta barel per hari. Enam kilang perseroan, yaitu RU II Dumai di Riau, RU III Plaju di Sumatera Selatan, RU V Balikpapan di KalimtanTimur, RU VI Balongan di Indramayu, Jawa Barat, dan RU VII Kasim di Papua tak sanggup memenuhi kebutuhan BBM nasional sehingga terpaksa harus impor.
Betul bahwa kilang Pertamina dari sisi kapasitas produksi masih di bawah tinggkat kebutuhan BBM dalam negeri, yaitu hanya 850 ribu barel per hari. Meningkatkan kilang atau membangun kilang baru adalah opsi yang mungkin dilakukan agar kilang-kilang Pertamina secara keseluruhan bisa dinaikkan. Dengan kapasitas saat ini dan kebutuhan mencapai 1,45 juta bph, menjadi persoalan yang tidak bisa dibiarkan sepanjang zaman manakala bahan baku berupa minyak mentah (crude oil) produksi dalam negeri tak cukup. Apalagi selang satu dasarwarsa terakhir produksi dan lifting minyak kita tidak pernah melewati level satu juta barel per hari. Bahkan, selama era Kabinet Indonesia Bersatu II, produksi dan lifting minyak selalu di bawah 900 ribu barel per hari. Sungguh mengenaskan!
Solusinya memang impor minyak mentah atau pun BBM. Harga minyak mentah dunia boleh saja saat ini turun di bawah US$ 55 per barel, namun depresiasi rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat akan mencekik anggaran negara. Hal ini menyebabkan harga beli minyak mentah atau pun BBM impor masih cukup tinggi. Belum lagi ketiadaan jaminan ketersediaan minyak mentah dalam jumlah cukup untuk jangka waktu lama. Sedangkan Pertamina menjaga keamanan suplai BBM nasional menjadi tugas melekat sebagai badan usaha milik negara.
Karena itu, upaya Pertamina memodernisasi kilang cukup beralasan karena masih ada kilang-kilang yang dibangun dengan konfigurasi tidak ekonomis. Tuntutan kilang modern sudah sedemikian kuat karena faktor kapasitas produksi, efisiensi, kompleksitas, dan keekonomian.
Dari enam kilang yang dimiliki Pertamina, hanya RU Balongan yang memiiki Nelson Complexity Index (NCI) tertinggi, yaitu 10.0. NCI RU Balongan juga lebih tinggi dibandingkan kilang yang berada di Singapura (4.8), Thailand (6.0), bahkan rata-rata Asia yang hanya 5.8. Bahkan, secara global, RU Balongan termasuk yang tertinggi. Namun, enam kilang Pertamina rata-rata memiliki NCI masih di atas Singapura.
NCI adalah metode pengukuran komponen-komponen biaya meningkatkan kapasitas (upgrading) kilang yang dikembangkan oleh Wilbur L Nelson pada 1960-an. NCI membandingkan macam-macam biaya upgrading unit seperti catalyc cracker atau reformer sampai seberapa besar biaya untuk crude distillation unit (CDU). Kompleksitas sebuah kilang semakin banyak menghasilkan produk yang valueable dan semakin sedikit menghasilkan produk unvaluable.
Namun, melakukan modernisasi kilang setidaknya terdapat empat aspek yang harus diperhatikan, yaitu keandalan (reliability), menguntungkan (profitable), bertumbuh (growth), dan berkelanjutan (sustainability). Modernisasi kilang tidak hanya dilihat dari sisi kompleksitas kilang, tetapi juga berkaitan dengan efisiensi pengoperasian, terintegrasi dengan petrokimia, dan fleksibel. Manajemen Pertamina tentunya telah mengkaji semua aspek itu!
Kilang Baru
Di luar modernisasi, penambahan kilang baru adalah conditio sine qua non bagi pemerintah demi menjaga ketahanan energi nasional. Pemerintah berencana membangun empat kilang baru di dalam negeri dengan total investasi US$ 23,6 miliar. IGN Wiratmaja Puja, Dirjen Migas Kementerian ESDM, mengatakan salah satu kilang yang akan dibangun berada di Bontang, Kalimantan Timur dengan estimasi kapasitas produksi 668 ribu barel per hari. “Kami masih memproses perpres kilang ini,” ujarnya.
Kurtubi, Anggota Komisi Energi DPR, mendukung rencana pemerintah membangun kilang baru. Pembangunan kilang akan menghemat pengeluaran negara, menambah pendapatan, dan membuka lapangan pekerjaan yang luas. “Memang harganya (investasi membangun kilang) mahal. Tetapi untuk konsep ketahanan dan kemandirian energi, kilang harus dibangun,” ujar dia.
Menurut Kurtubi yang dibutuhkan dari pelaku usaha saat ini adalah konsistensi kebijakan dari pemerintah karena investasi pembangunan kilang cukup besar dan jangka panjang. Pemerintah harus memberi kepastian hukum lewat kebijakan yang konsisten. Pemerintah juga diharapkan membantu untuk penyediaan tanah. Karena selama ini, salah satu kendala yang menghambat proyek adalah soal pembebesan tanah. “Jika pemerintah bisa menyediakan lahan, itu akan mempercepat pembangunan kilang,” ujarnya.
Persoalannya sejatinya sudah terang benderang. Presiden Jokowi harus secepatnya menerbitkan perpres untuk mewujudkan pembangunan kilang minyak baru. Tanpa dukungan itu, pembangunan kilang akan memakan waktu lama. Apalagi, pemerintah Jokowi menargetkan dalam 10 tahun setidaknya delapan kilang terbangun.
Perpres diperlukan untuk mempercepat pembangunan kilang. Dengan skema normal, pembangunan kilang yang dimulai tahun ini baru akan selesai pada 2022 atau 2023 karena banyak tahapan yang harus dilalui. Tahapan yang harus ditempuh dalam pembangunan kilang baru itu adalah perencanaan, perakitan mesin, pelelangan barang dan jasa, serta pelaksanaan konstruksi yang seluruhnya memakan waktu delapan tahun.
Jika menggunakan cara luar biasa, yaitu peraturan presiden tentang penugasan kepada Pertamina, pembangunan kilang bisa tuntas pada 2019. Seluruh proses dapat dipersingkat menjadi perencanaan, pengadaan investor, pengadaan barang dan jasa, serta pelaksanaan konstruksi yang diperkirakan terealisasi dalam lima tahun.
Namun, pembangunan kilang baru tidak mudah. Butuh modal besar, sekitar US$ 9 miliar-US$ 10 miliar sedangkan profit margin kecil. Selain itu juga harus ada jaminan pasokan minyak mentah setidaknya untuk 30 tahun.
Wacana pembangunan kilang di Tanah Air memang sudah cukup lama, lebih dari 15 tahun lalu. Tetapi hingga kini belum juga terealisasi. Beberapa investor yang memiliki kekuatan dana dan jumlah pasokan, seperti Iran, Arab Saudi, dan Kuwait pun telah berminat menjadi investor. Tetapi pemerintah agaknya belum memiliki formulasi yang tepat dengan keinginan para investor. Problem klasiknya, lagi-lagi katanya, soal insentif dan keringanan pajak (tax holiday).
Pemerintah sudah seharusnya mulai mengubah paradigma; dari persoalan untung-rugi, pemberian insentif atau disinsentif kepada hal yang lebih substantif, yakni menjaga ketahanan energi nasional. Memang ada persoalan margin keuntungan yang diprediksi hanya memiliki internal rate of return (IRR) sebesar 9% dengan biaya sekitar Rp 90 triliun-Rp 100 triliun untuk kapasitas kilang sebesar 300.000 bph. Atau sedikit di atas suku bunga kredit yang bernilai 7,5%-8% sehingga masa investasi baru kembali sekitar 10-15 tahun.
Kita perlu belajar dari negara lain. Contohlah kemitraan yang dijalin Saudi Aramco yang menggandeng Sinopec, BUMN Tiongkok. Skema patungan yang dikembangkan kedua perusahaan BUMN ini adalah mampu mengembangkan proyek patungan yang saling membiayai antara Saudi Aramco (63%) dan Sinopec (37%). Dengan demikian, pemerintah (negara) masih memiliki kedaulatan untuk turut memberikan pengamanan pada bisnis yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut.
Ketertarikan Tiongkok di bisnis pembangunan kilang lantaran Saudi Aramco berani menjamin IRR 15% dan Margin Pengilangan (MP) netto sebesar US$ 5 per barel. Jaminan itu adalah dalam bentuk rabat harga minyak mentah berkisar US$ 4- US$ 8 per barel. Hal ini bisa terwujud karena adanya pertemuan antara keekonomian dan kepentingan jaminan pasokan BBM, termasuk andil negara (pemerintah) dalam kerangka mendukung kepentingan nasionalnya.
Pelajaran menarik yang bisa kita tarik adalah bahwa pembangunan kilang, bukan semata selesai pada hitung-hitungan ekonomi. Tetapi, apakah negara, dalam format pemerintahan atau national oil company (NOC), memiliki urgensi dan kepentingan yang sama dalam menyikapi keberadaan kilang? Sekarang bukan waktunya lagi berwacana, tetapi butuh aksi nyata sekaligus keberanian politik pemerintah untuk segera mengambil langkah. (dudi rahman)
Komentar Terbaru