JAKARTA – PT Freeport Indonesia sudah melayangkan permohonan penambahan waktu pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pandemi Covid-19 dijadikan perusahaan tambang tembaga dan emas itu untuk meminta target selesai smelter pada 2024 mundur satu tahun dari jadwal semula yakni 2023.
Kekuatan lobi Freeport tidak main-main. Ditjen Mineral dan Batu bara (Minerba) bahkan sampai meminta dukungan politik dari anggota dewan agar bisa turut mendesak Freeport tetap pada jadwal penyelesaian smelter.
Ridwan Djamaluddin, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, mengungkapkan sampai sekarang pemerintah satu suara dengan DPR meminta tidak ada penundaan pembangunan smelter Freeport di Gresik, Jawa Timur.
“Kami mendorong agar stigma-stigma tentang smelter (rugi) ini tidak lagi ada. Kami sangat tercerahkan setelah berdiskusi dengan bapak-bapak anggota dewan bahwa smelter ini tidak boleh tidak terbangun,” kata Ridwan, Kamis (27/8).
Freeport sendiri telah melaporkan adanya keterlambatan progress pembangunan smelter kepada pemerintah. Hingga Juli, realisasi kemajuan pembangunan smelter Freeport baru 5,86%. “Berada di bawah rencana pembangunan 10,5%,” tukas Ridwan.
Ada dua pabrik smelter yang sedang dibangun Freeport yakni smelter katoda tembaga dengan progress 5,8% dan smelter Precious Metal Refinery (PMR) 9,7%.
Jenpino Ngabdi, Wakil Presiden Direktur Freeport Indonesia, mengatakan beberapa pekerjaan yang sudah dilaksanakan antara lain Feasibility Study (FS), Early Works dan Front End Engineering Design (FEED).
Freeport mengaku telah mengelontorkan biaya US$290 juta untuk melakukan berbagai kegiatan pembangunan hingga Juli lalu yanh secara detail terdiri dari advance detail engineering, ground improvement atau pematangan lahan, keduanya sudah diselesai 100%.
“Memang bagian terbesar dari pekerja yang sudah dilakukan biayanya dari ground improvement 50%. Per Juli ini sudah US$290 juta yang dikeluarkan untuk pembangunan,” kata Jenpino.
Jenpino mengaku dampak Covid-19 membuat kontrak Engineering Procurement and Construction (EPC) belum difinalisasi karena ada beberapa hal yang kritikal yang berkaitan dengan biaya dan waktu penyelesain. Vendor dan EPC kontraktor belum bisa difinalisasi karena mengalami kendala akibat pembatasan di negeranya sehingga menyulitkan mereka bekerja efektif.
“Dari sisi biaya, belum semua vendor berikan biaya final. Penundaan sudah berjalan enam bulan sehingga apabila dipaksakan akhir 2023, EPC kontraktor menyatakan tidak sanggup menyelesaikan, perlu penyesuaian. Kami mohon waktu penyelesaiannya ini hingga 2024,” ungkap Jenpino.
Rofik Hananto, anggota Komisi VII DPR, mendesak pemerintah untuk menolak permohonan Freeport yang ingin menunda penyelesaian pembangunan smelter dari target yang direncanakan operasional pada tahun 2023 karena hal itu jelas melanggar Undang-Undang. “Pemerintah jangan sampai melanggar UU Minerba yang usianya baru seumur jagung,” kata Rofik.
Di UU No. 3/2020 tentang Minerba yang baru disahkan, di pasal 170A ayat 1, disebutkan bahwa Pemegang KK, IUP Operasi Produksi, atau IUPK Operasi Produksi Mineral logam yang:
a. telah melakukan kegiatan Pengolahan dan Pemurnian;
b. dalam proses pembangunan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian; dan atau
c. telah melakukan kerjasama Pengolahan danf atau Pemurnian dengan pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi lainnya, atau IUP Operasi Produksi khusus untuk Pengolahan dan Pemurnian atau pihak lain yang melakukan kegiatan Pengolahan danf atau Pemurnian,
dapat melakukan Penjualan produk Mineral logam tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu ke luar negeri dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
Sehingga dalam UU Minerba baru tersebut dalam jangka 3 tahun yaitu di akhir tahun 2023, smelter (pengolahan dan pemurnian tambang logam) sudah harus sudah dan perusahaan dilarang mengekspor konsentrat tambang.
Melalui proses pemurnian ini diharapkan ada proses yang memiliki nilai ekonomi dan nilai tambah bagi masyarakat bangsa dan negara.
Rofik meminta pemerintah untuk konsisten serta bersikap tegas dan berwibawa dalam menjalankan amanat UU Minerba yang baru.
Keuntungan korporasi, kata dia, sedikit berkurang atau dipandang kurang ekonomis. Tetapi keuntungan bagi masyarakat akan sangat banyak. Ada pembukaan lapangan kerja, peningkatan daya beli, kemampuan teknologi dan ketrampilan kerja serta juga mengurangi kesenjangan.
“Penguatan pada SDM berbasis kearifan lokal (agility culture) dan tentunya menimbulkan dinamisasi ekonomi masyarakat apalagi bila ada stimulus untuk menciptakan economic chain reaction di tengah masyarakat,” kata Rofik.(RI)
Komentar Terbaru